Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural

Posted by Kongkow edu On Thursday, April 29, 2010 0 komentar

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis, yang dihuni oleh beragam ras, etnik, budaya dan agama. Keragaman yang bersifat natural dan kodrati ini akan menjadi suatu manisfestasi yang berharga ketika diarahkan dengan tepat menuju situasi dan keadaan yang kondusif. Namun, sebaliknya, ketika tidak diarahkan dengan pola yang tepat, keragaman ini akan menimbulkan perbenturan peradaban (clash of civilization) yang sering menghasilkan situasi konflik berdarah, yang menciptakan perpecahan dan disentegrasi sosial.

Dalam konteks seperti di atas, sebuah opsi penyelesaian ditawarkan yaitu melalui salah satu konsep strategis pengembangan multikulturalisme dalam pendidikan. Dengan demikian konsep pendidikan yang bersifat dialektis–transformatif dapat terselenggarakan, hal ini penting diterapkan guna merespon perkembangan kehidupan sosial budaya yang selalu mengalami perubahan secara kontinu dengan adanya pemalsuan persepsi terhadap budaya dan peradaban manusia. Langkah tersebut dilakukan sebagai strategi untuk membina mental masyarakat agar memiliki sikap yang sehat dalam merespon keberagaman budaya, keagamaan dan tingkah laku dilingkungan sosial- masyarakat. Sehingga gejolak sosial yang berkepanjangan dan sistemik dapat terselesaikan melalui peran aktif pendidikan.
Sementara itu, di Indonesia dalam institusinya, secara implisit paradigma pluralis-multikultural juga menjadi salah satu fokus dari undang-undang sistem pendidikan nasional N0. 20 Tahun 2003 yang diulas dalam Pasal 4, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Sebagai salah satu unsur pendidikan yang memiliki kekuatan budaya dengan nilai luhur berupa nilai demokrasi dan mandiri, pendidikan agama Islam –seharusnya merespon dengan berperan aktif melakukan pembinaan pendidikan multikultural di Indonesia, khususnya di dalam institusi-institusi agama Islam (madrasah dan pondok pesantren). Pendidikan agama dituntut untuk melakukan transformasi nilai melalui potensi moral manusia guna mencetak masyarakat madani (civil society), baik melakukan transformasi nilai secara sempit melalui penanaman nilai yang bersifat normatik-dogmatis ataupun melalui transformasi nilai secara luas melalui pengayaan intelektual dan kultural.
Namun dengan meluasnya disintegrasi sosial di Indonesia mengindikasikan bahwa keragaman yang ditakdirkan kepada bangsa Indonesia belum terarahkan dengan baik. Penyelenggaraan pendidikan yang ada, khususnya pendidikan agama belum memberikan solusi nyata terhadap konflik horisontal dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya peristiwa-peristiwa yang dilatarbelakangi oleh perbedaan ras, budaya dan agama serta antar golongan yang marak terjadi sekarang ini. Masyarakat tidak toleran terhadap adanya perbedaan kultural yang dihadapi dalam melakukan interaksi sosial diantara beragam komunitas. Perbedaan yang hakekatnya menjadi nilai positif bagi bangsa Indonesia telah terkotori oleh emosi masyarakat yang mudah terbakar dan perilaku–perilaku destruktif yang membabi buta.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, nampaknya peran pendidikan agama (Islam) belum begitu terealisasikan secara maksimal. Tatap muka yang intensif antara guru agama dengan peserta didik yang sedianya dianggap sarana efektif bagi berhasilnya upaya bimbingan ke arah perilaku toleran pada diri peserta didik tidak banyak dimanfaatkan. Hal ini tentunya merupakan akibat mekanisme dari proses pembelajaran yang mengharuskan guru menyampaikan materi pelajaran agama berdasarkan buku paket tertentu yang memang sangat minim membahas tentang toleransi atas perbedaan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Sebuah penelitian yang dilakukan Harian Kompas, dengan menganalisis buku-buku wajib pelajaran agama, melaporkan bahwa porsi bahasan tentang toleransi beragama di dalam buku-buku wajib tersebut tidaklah begitu banyak. Sebagai misal, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) hanya ditemukan pada buku kelas III SLTP yang disusun oleh Direktorat Pembinaan PAI pada sekolah umum negeri. Sebaliknya, buku-buku wajib tersebut lebih didominasi ajaran-ajaran fundamental tentang prinsip-prinsip kepercayaan dan pengetahuan praktis mengenai macam-macam serta tata laksana ritual agama yang ditujukan untuk memperteguh keyakinan peserta didik terhadap agama yang dianut. (Kompas, 11 Januari 1995).
Hal ini membuktikan bahwa Pendidikan Agama (Islam) mengarah kepada pembentukan pribadi–pribadi yang cendrung ekslusif dan tidak memiliki kepekaan sosial atas adanya perbedaan serta terisolir dengan kehidupan sosial-budaya Indonesia yang beragam. Dalam hal ini nampak jelas bahwa pendidikan agama (Islam) di Indonesia lebih banyak menekankan kepada disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish dan jauh dari realitas kehidupan.
Oleh karena itu, rekonstruksi pendidikan agama seharusnya dilakukan dengan tidak lagi fokus kepada pemenuhan aspek kognitif semata, tetapi juga pembentukan karakter dengan pembenahan segi afektif serta pemberian ruang kebebasan untuk mengembangkan kreatifitas dengan rangsangan pada aspek psiko-motorik yang semua itu dilaksanakan secara seimbang. Dengan kata lain pendidikan agama harus diajarkan secara merata keseluruh ranah, baik itu ranah kognitif, ranah afektif maupun ranah psikomotorik. Sehingga dalam diri peserta didik tertanam motivasi yang kuat untuk menghubungkan seperangkat nilai dan norma yang mereka pelajari pada pendidikan agama Islam dengan kenyataan sosial yang terdapat dalam lingkungan masyarakatnya.
Melalui jalur di atas, pendidikan agama sebagai jalur perekat terhadap terbinanya pendidikan multikultural berusaha untuk memupuk toleransi antar umat beragama serta sikap saling menghargai dan memahami antara anak bangsa yang berbeda suku, bahasa, budaya dan agama. Maka, menjadi suatu kepentingan mendesak untuk menajamkan tema multikulturalisme dalam kerangka tujuan pendidikan agama, hingga menjadi tujuan yang substansial. Dengan demikian terbentuk pelaksanaan pendidikan agama yang responsif terhadap keberagaman dalam masyarakat.
Akhirnya, melalui pembinaan pendidikan agama yang inklusif diharapkan terbentuk pribadi yang menghargai perbedaan dalam semangat kebersamaan, yakni mengakui secara mutlak kebenaran agama masing – masing individu tanpa harus melemahkan sistem keyakinan agama lain.

0 komentar:

Post a Comment