Wacana Konseptual Membangun Pendidikan Yang Demokratis

Posted by Kongkow edu On Thursday, October 27, 2011 0 komentar

Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi masyarakat Indonesia agar menjadi bangsa yang cerdas dan memiliki kebudayaan yang maju sudah tertanam sejak negara ini diproklamasikan, hal itu dapat dilihat dalam undang-undang dasar 1945 dalam pasal 31 ayat 1 yaitu, tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan,dan ayat 3 yang menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur oleh undang-undang serta pasal 32 ayat 1 menyatakan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Namun dalam pelaksanaanya, selama ini penyelenggaraan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa hanya dipahami dengan pemerataan pendidikan tanpa memperhatikan kualitas pendidikan yang merata dalam rangka mencerdaskan bangsa dan memajukan budaya nasional. Dan hal di atas, diperburuk kondisinya oleh masih banyaknya konflik bernuansa SARA yang terjadi di Indonesia. , pendidikan yang menurut Fadjar seharusnya dijadikan sebagai model bagi penanaman nilai-nilai demokratis dan berkeadilan serta menghargai keragaman budaya, realitanya belum berperan secara maksimal dalam menyelesaikan konflik keberagaman.
Kondisi di atas yang menggambarkan jauh dari kehidupan bangsa yang cerdas, menuntut untuk dilakukannya perubahan dimana perubahan itu akan terjadi melalui tranformasi budaya. Dan menurut Irikelles yang dikutip oleh Soedijarto bahwa transformasi budaya itu akan terwujud melalui peranan sekolah sebagai pusat pembudayaan atau sosialisasi berbagai kemampuan, nilai dan sikap modern. Selanjutnya, Fadjar mempertegas dengan pernyataan bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam dialektika-transformasi sosial budaya yang diharapkan untuk mengembangkan budaya sosial yang unggul.
Adanya reformasi politik yang berdampak besar dalam perubahan kebijakan pendidikan yaitu otonomisasi dan demokratisasi diharapkan mampu membentuk sekolah sebagai pusat pembudayaan. Rosyada , melihat perubahan kebijakan pendidikan ini merupakan upaya untuk memperbesar keterlibatan masyarakat dalam pendidikan dengan mengidentifikasi kompetensi siswa yang akan dihasilkan, dan juga memperbesar peran siswa dalam menentukan aktivitas belajar, yang keduanya dikelompokkan dalam demokratisasi dalam penyelenggaraan kurikulum dan proses pembelajaran. Namun, efektifitas pelaksanaan kurikulum dan proses pembelajaran tidak dapat terealisasi dengan baik bila pengelolaan sekolahnya dikelola secara hierarkis-otokratis, model kepemimpinan yang seringkali cendrung adanya sikap dan prilaku pemaksaan kehendak dan pragmatis, sehingga menyebabkan terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif masyarakat yang dipimpinnya (tenaga pendidik dan kependidikan). Maka sikap kepemimpinan demokratis dapat menjadi solusi untuk pengelolaan institusi sekolah yang menghargai inovasi dan kreatifitas masyarakat yang dipimpinnya (tenaga pendidik dan kependidikan.  


 Hubungan Demokrasi Dan Pendidikan
Demokrasi dalam pendidikan dan pembelajaran menggunakan pengertian equal opportunity for all. Artinya, anak didik mendapat peluang yang sama dalam menerima kesempatan dan perlakuan pendidikan. Guru memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu untuk mengikuti setiap kegiatan pendidikan. Demokrasi dan pendidikan, sesungguhnya, saling berkaitan satu sama lain dan mempunyai bubungan timbal balik. Misalnya: pendidikan jika dimaknai suatu proses bantuan untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik, maka pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis (sering disebut dengan istilah demokrasi pendidikan). Pendidikan yang demokratis mempunyai ciri adanya suasana belajar yang berkemampuan optimal menumbuhkan potensi peserta didik untuk tujuan tertentu. Begitu juga sebaliknya, agar nilai-nilai demokrasi (hak-hak asasi), kebebasan, keadilan, persamaan dan keterbukaan) dapat dipahami dan memiliki peserta didik, maka perlu pendidikan. Pendidikan tersebut berfungsi menanamkan nilai-nilai demokrasi kepada peserta didik (pendidikan demokrasi atau pendidikan tentang demokrasi).


Penyusunan, Pengembangan dan Penyelenggaraan Kurikulum Demokratis
Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Mekanisme penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dilakukan secara demokratis, karena melibatkan guru, konselor, kepala sekolah, komite sekolah dan nara sumber lainnya yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang pendidikan, di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor kementrian agama, sebagai bagian dari kegiatan perencamaan sekolah, dalam bentuk rapat kerja atau lokakarya yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru.
Langkah-Langkah penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan harus melalui analisis konteks, meliputi: analisis potensi dan kekuatan atau kelemahan yang ada di sekolah; peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan, sarana-prasarana, biaya dan program-program yang ada di sekolah, analisis peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitar; komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, asosiasi profesi, dunia industri dan dunia kerja serta sumber daya alam dan sosial –budaya, identifikasi standar isi dan standar kelulusan.


Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Proses pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan dilaksanakan dalam prinsip-prinsip demokratisasi pendidikan, sesuai dengan setiap satuan pendidikan dan komite sekolah, berpedoman pada standar is dan standar kompetensi kelulusan serta penyusunan kurikulum yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP). Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut: berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungan, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni, relevan dengan kebutuhan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, belajar sepanjang hayat dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Prinsip pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan tersebut di atas diserahkan sepenuhnya kepada daerah/sekolah/komite sekolah, dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik, dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, melibatkan pemangku kepentingan, mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, memperhatikan kepentingan nasional dan daerah dan mendorong peserta didik untuk mengikutidan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.


 Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Demokratisasi pendidikan dalam pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan ditandai dengan keterlibatan peserta didik pada proses pembelajaran, dan juga diberikan kesempatan untuk menentukkan aktivitas belajar yang akan dilakukan bersama-sama dengan guru. Berkaitan dengan demokratisasi pendidikan dalam pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan, Sadiman menjelaskan bahwa proses pembelajaran yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi adalah sebagai berikut:

  1. Menempatkan anak didik sebagai individu yang unik. Mereka memiliki minat, bakat, efisiensi alat indra, kecerdasan, cara merespon pelajaran yang diberikan, ketrampilan dan sikap berbeda satu sama lain sehingga perlu diberikan treatmen yang berbeda. Proses pendidikan hendaknya mampu menciptakan konsep diri yang positif pada anak didik. Masing-masing anak harus merasa sanggup, aman dan menemukan tempatnya masing-masing di dalam masyarakat sekolah. Tidak ada anak yang unknown semua baik yang pandai maupun yang lemah semua mendapat perhatian.
  2. Pembelajaran hendaknya bersifat individual dalam arti tiap siswa mendapatkan cara penanganan sesuai dengan karakter masing-masing. Apabila hal ini masih sulit dilakukan maka bisa ditempuh cara pengelompokan siswa berdasarkan prestasi “acheivement grouping”. Kelompok ini bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan masing-masing individu. Strategi ini dimaksudkan memberi kesempatan pada anak untuk meningkatkan diri sejalan dengan kecepatan belajarnya.
  3. Sebagai konsekuensi dari pembelajaran individual tersebut perlu diterapkan sistem maju berkelanjutan “continuous progress”. Pelaksanaan sistem ini memungkinkan siswa menyelesaikan pendidikan lebih cepat, lebih lambat atau tepat pada waktunya. Sistem maju berkelanjutan membuka peluang secara luas bagi perkembangan pribadi anak karena anak dapat maju tanpa hambatan, kelas atau tingkatan tidak lagi merupakan barrier untuk terus maju. Sistem ini tidak saja akan menguntungkan anak, akan tetapi juga bisa menjadi pemicu peningkatan atau percepatan-achievement.
  4. Demokrasi menghargai kebebasan individu untuk mengekspresikan diri namun tetap menghargai norma dan etika. Proses pendidikan di sekolah bisa mewujudkan hal ini dengan sengaja dan memberikan paling tidak satu jam belajar bebas “independent study” setiap minggunya. Dalam pelajaran ini anak belajar bertanggungjawab atas kebebasan yang diberikan. Dengan menggunakan perpustakaan dan sumber belajar lain, anak belajar mengarahkan diri, menolong diri, disiplin dan mengontrol diri. Dengan mencari kesibukan yang sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan masing-masing anak berusaha memenuhi kebutuhan. Pelajaran ini juga melatih siswa menghargai waktu, mengembangkan kemampuan anak untuk mengarahkan diri (self direction), mendisiplinkan diri (self discipline), menguasai diri (self control), menolong diri sendiri (self help), mengandalkan diri (self reliance) dan menyibukkan diri (self activity).
  5. Untuk menetralisir tumbuhnya sikap individualistis perlu disiapkan pelajaran kelompok. Proses belajar dalam kelompok ini tidak saja membina sikap toleransi anak tetapi juga memberi kesempatan untuk mengadakan interaksi sosial, belajar bahwa masih ada orang di luar diri sendiri, bersikap terbuka terhadap perubahan dan saling membantu.
  6. Proses belajar mengajar harus memberi kesempatan anak didik untuk mengekspresikan dirinya baik lesan maupun tertulis. Untuk metodologi pembelajaran yang dipilih harus memungkinkan hal tersebut. Misalnya: diskusi, seminar, observasi, eksperimen perorangan maupun kelompok dan sebagainya. Pelajaran mengarang yang sementara ini diabaikan karena berat dalam mengoreksi justru harus ditingkatkan dan diperhatikan. Tata krama secara lesan dan tertulis harus dipelajari anak. Dalam kaitan ini terasa penting perpustakaan yang terpadu dengan proses belajar mengajar di kelas.
  7. Peran serta aktif anak didik tidak saja digalang dalam proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah, tetapi juga menetapkan tata tertib atau aturan yang harus ditaati sendiri. Juga dalam kegiatan seperti mengelola majalah sekolah. Ini jelas merupakan cerminan hidup demokratis.
  8. Grafik prestasi kelas dan grafik prestasi pribadi yang dipasang di kelas menunjukkan posisi masing-masing anak dalam mata pelajaran tertentu. Keterbukaan ini mengajarkan pada anak kejujuran untuk mengakui kelemahan atau kekurangan diri dan kekurangan atau kelebihan orang lain sekaligus memotivasi anak untuk meningkatkan diri dan motivasi berprestasi.
  9. Evaluasi dalam pendidikan yang demokratis tidak hanya menilai prestasi siswa tetapi juga menilai kinerja para guru/pendidik dan sistem secara keseluruhan. Guru hendaknya berjiwa besar atau berlapang dada untuk menerima penilaian dari siswa dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan di lembaga tersebut. 

Kepemimpinan Pendidikan berbasis Lintas Budaya
Adanya dominasi budaya tertentu terhadap budaya lain di dalam satu komunitas, tak terkecuali dalam sebuah lembaga pendidikan dapat mengakibatkan ketegangan yang berujung kepada konflik. Hal demikian sering terjadi akibat adanya penempatan yang tidak tepat dalam identitas lokal, nasional maupun universal pada saat berinteraksi maupun bersosialisasi. Sehingga seseorang tanpa adanya kesadaran yang lapang merasa benar dengan membawa dominasi identitas lokal ke dalam komunitas yang multikultural.  Dalam hal ini perlu paradigma kepemimpinan yang tepat agar dominasi budaya tertentu dalam sebuah komunitas yang beragam tidak terjadi. Pada kasus kepemimpinan dalam pendidikan, paradigma yang harus dibenahi adalah paradigma kepemimpinan yang bersifat hierarkis-otokratis menuju kepemimpinan yang berbasis kemitraan bersama dalam naungan kepemimpinan pendidikan dengan paradigma multikultural.
Kepemimpinan hierarkis-otokratis seringkali diwarnai oleh sikap dan prilaku pemaksaan kehendak dan pragmatis, yang menyebabkan terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif masyarakat yang dipimpinnya. Para masyarakat yang dipimpinnya cendrung bersikap apriori, sehingga dalam melakukan tugas dan kewajiban hanya berdasarkan perintah atasan. Dengan kondisi demikian akan sulit dicapai kinerja yang unggul. Maka perlu kebijakan perubahan kepemimpinan pendidikan yang dapat memberdayakan bawahan yang beranekaragan budaya, etnik, agama dan kemampuan.
Dalam hal ini Dimmock dan Walker mengetengahkan tentang Cross Cultural Leadership (kepemimpinan lintas budaya) yaitu kepemimpinan yang berdasarkan pemahaman budaya yang ada sekaligus dampaknya terhadap kelangsungan masyarakat sosial dalam lingkup budaya tertentu. Model kepemimpinan demikian, diharapkan dapat mendorong motivasi, memberdayakan dirinya dan memiliki tanggung jawab atas tugas yang diembannya. Kepatuhan tidak lagi didasarkan pada kontrol eksternal namun berkembang dari hati sanubari disertai dengan pertimbangan rasionalnya.  Kepemimpinan multi budaya pada pendidikan intinya merujuk pada upaya memperdayakan setiap komponen manusia yang multi budaya untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam pendidikan. Setiap manusia dipandang sebagai individu yang memiliki kekuatan cipta, rasa dan karsa serta mempunyai tempat untuk berkembang sebagaimana mestinya, maka hal ini mempunyai kekuatan bagi lembaga pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hersey dan Blanchard mengatakan bahwa gaya kepemimpinan akan sangat efektif apabila mengakomodir budaya dan lingkungan. Untuk itu ditawarkan konsep kepemimpinan multi-kultur, yaitu kepemimpinan yang menggunakan perspektif multukultural. Secara makna multi-kultur berarti  membandingkan atau menangani dua atau lebih budaya yang berbeda terkait dengan berbagai budaya daerah, bangsa dan lainnya.
Di dalam kepemimpinan multi-kultur ini, lebih ditujukan kepada budaya pemimpin (yang mempengaruhi) yang berbeda dengan pengikutnya (yang dipengaruhi). Maka kepemimpinan multi-kultur merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi dan memotivasi anggota grupnya yang berbeda budaya dengan sengaja dan tidak seimbang menuju sasaran yang diterapkan dengan mempertimbangkan pengetahuan dan sistem makna dari budaya yang berbeda didalam grup. Atau dengan kata lain adalah pemimpin yang mampu menyesuaikan dan menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi, budaya dan kondisi lingkungan yang beragam. Budaya secara tidak langsung berpengaruh terhadap prilaku kepemimpinan. Hal itu dikemukakan oleh Bowditch dan Buono dengan alasan bahwa sikap dan prilaku seseorang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegangnya, dan nilai – nilai itu dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan sosial. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya perlu menyadari bahwa setiap individu, walaupun berada dalam satu unit kerja yang sama namun tetap memiliki nilai-nilai yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, agar proses kepemimpinan dapat berjalan dengan efektif, maka setiap pemimpin hendaknya menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi yang ada sehingga tidak menimbulkan masalah dan konflik dengan bawahannya dan organisasinya.


Penutup
Dalam rangka membentuk bangsa yang cerdas dan berbudaya, pendidikan demokratis menjadi solusi dan selaras dengan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional , yang mendorong  pendidikan berbasis demokrasi dan berkeadilan. Sebagai implementasinya, perlu diterapkan dalam kurikulum dan kepemimpinan dalam pendidikan, karena kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait dalam menyelenggarakan pendidikan berbasis demokrasi.

0 komentar:

Post a Comment