Mempertegas Keberadaan Mahasiswa PAI Dalam Menyemai Keberagaman

Posted by Kongkow edu On Monday, October 12, 2015 0 komentar



Kaum intelektual termasuk jenis ‘manusia minoritas’ dalam sebuah komunitas masyarakat. Meski jumlahnya selalu sedikit, mereka sangat dibutuhkan karena mereka merupakan poros sentral bagi perubahan masyarakatnya. Namun perubahan itu terkadang menjadikan kondisi yang tidak kondusif. Apalagi, ketika perubahan yang ditawarkan intelektual menyangkut pemikiran dan praktik keagamaan yang telah mentradisi dalam waktu yang sangat panjang. Dan, karena itu, dianggap sebagai hal yang tidak bisa dipersoalkan, apalagi diubah. Karena itu, intelektual yang menawarkan gagasan dan konsep yang mungkin terlalu abstrak bagi kalangan publik sering mendapatkan tantangan dari kalangan masyarakatnya sendiri. Tidak jarang mereka dilihat dengan penuh prasangka dan bahkan dituduh sebagai ‘sesat’ dan ‘menyimpang’. Karena itu, intelektual sering berada dalam dilema dan posisi sulit; pada satu pihak ia memiliki tanggung jawab moral publik untuk menyerukan dan mendorong perubahan, tetapi pada pihak lain ia mendapat tantangan yang tidak jarang sangat sengit dan bermusuhan dari kalangan masyarakat. Tetapi, justru di sinilah terletak integritas intelektual; tidak cepat menyerah pada berbagai tantangan. 
Tantangan yang dihadapi dalam pendidikan agama (Islam) bukan hanya menyajikan doktrin agama Islam yang bersifat normatif sebagai sebuah pengetahuan akan tetapi pemberlakuan secara totalitas terhadap nilai-nilai keislaman. Dan permberlakuan tersebut mencakup perwujudan nilai-nilai keislaman yang dipahaminya secara komperehensif, moralitas yang beraktualisasi dan pembentukan sikap yang lapang serta santun terhadap perbedaan.  
Mahasiswa PAI sebagai salah satu kader penggerak dalam pemahaman wawasan keislaman dituntut memiliki pemahaman yang komperehensif mengenai ajaran Islam sehingga kemampuan untuk penempatan secara rasional dan bijaksana terhadap Islam dapat diberlakukan. Dogma ajaran Islam yang bersifat prinsipil merupakan suatu penegasan terhadap identitas agama secara kultural semata. Mahasiswa PAI sebagai ‘calon pelaksana kurikulum agama Islam’ yang ideal, diharapkan dapat menghadirkan pemahaman Islam yang tepat dan memiliki rasa keberagamaan yang santun serta lapang terhadap perbedaan. Hal tersebut dapat diterapkan melalui konsep ajaran Islam yang menyajikan nilai-nilai inklusif dalam agama tanpa harus mengurangi keyakinan yang dianut seseorang sebagai sebuah identitas dirinya. Dengan demikian nampak jelas bahwa keberadaan mahasiswa PAI sebagai ‘calon pelaksana kurikulum agama Islam’ mutlak menyampaikan ajaran – ajaran dalam agama Islam berdasarkan  prinsip inklusifitas dan santun terhadap gagasan yang berbeda. Dalam hal ini, menyajikan pemahaman yang komperehensif sehingga dapat diterima oleh semua orang dari beragam latar belakang dapat dijadikan solusi. Karena 'pembawa beritanya' (guru agama) sadar bahwa kebenaran yang mutlak itu dapat ditinjau berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda. Ketika terdapat unsur pemaksaan dalam penyampaian 'kebenaran' hal itu berarti yang disampaikan bukan sebuah kebenaran melainkan pembenaran berdasarkan sudut pandang tertentu. Dengan demikian semakin mendekati seseorang memahami kebenaran dari berbagai sudut pandang maka semakin meluas pula jiwanya menghargai keberagaman pemahaman. Keresahan terus akan terjadi ketika masih banyak masyarakat disibukan dengan memperindah terhadap 'tali pegangannya' masing-masing, kenapa harus seperti itu? Karena sibuk dengan pegangan sendiri, kita sering melupakan bahwa para pemilik 'pegangan lain' memiliki hak untuk memperoleh lisensi perlindungan dan keselamatan ketika hendak melakukan komunikasi baik secara vertikal maupun horizontal. Padahal akan lebih bermanfaat ketika seluruh pegangan mensejajarkan diri membentuk seperti jembatan agar tiap-tiap individu sesama pemilik pegangan berjalan dengan penuh rasa aman. Sehingga nampak jelas bahwa Islam rahmatan lil alamin
Selanjutnya, ketika pemahaman mengenai keberagamaan mahasiswa PAI telah terkondisikan secara komperehensif dan benar dalam diri ‘pelaksana kurikulum’, maka langkah berikutnya adalah bagaimana pemahaman itu dapat disampaikan secara tepat kepada peserta didik. Dalam hal ini, penguasaan terhadap strategi pembelajaran PAI perlu menjadi fokus penguasaan mahasiswa PAI berikutnya. Dengan demikian, perlu adanya upaya perubahan proses yang diawali dengan memperkaya strategi pembelajaran yang variatif. Pendidikan agama diorientasikan untuk menciptakan perilaku siswa didik yang sesuai dengan ajaran agama. Penekanan kompetensi berbasis agama ini juga mengandaikan pendidikan agama dilaksanakan dengan menyeimbangkan tiga aspek sekaligus, yakni; aspek iman, aspek ilmu, dan aspek amal (kognitif, afektif dan psikomotorik).
Proses belajar mengajar memang sangat kompleks untuk dibicarakan. Ia merupakan suatu sistem yang melibatkan masukan dasar yaitu siswa; masukan instrumental yaitu guru, kurikulum dan sarana; serta masukan lingkungan yaitu alam, sosial dan budaya. Proses belajar mengajar adalah interaksi antarmasukan itu. Karena itu situasinya kompleks sekali. Namun kita dapat memfokuskan perhatian pada satu situasi kecil, misalnya respon siswa terhadap materi (substansi) yang dihadapkan kepadanya; atau respon siswa terhadap tindakan guru (metodologi, asesment, peragaan), atau respon siswa terhadap lingkungan. Situasi kecil itu, masih dapat kita khususkan lagi. Misalnya: Respon siswa terhadap materi tertentu, kita hanya mencermati kesalahan-kesalahan siswa dalam menangkap suatu konsep (miskonsepsi).  Respon siswa terhadap tindakan guru, kita mencoba mencermati sikap anak terhadap pertanyaan guru, atau sikap anak jika menghadapi soal cerita, atau sikap anak terhadap peragaan. Respon siswa terhadap lingkungan, kita mencoba mencermati motivasi belajar pada pagi hari dibandingkan sore hari, atau sikap anak jika guru suka sekali berbahasa daerahnya. Situasi yang telah dipilih itu, digambarkan secara deskriptif. Lalu munculkan masalah yang terjadi pada situasi itu. Yang dimaksudkan masalah adalah kesenjangan antara kenyataan yang ada dalam situasi itu (tidak memuaskan), dengan situasi yang menjadi harapan (memuaskan) guru.
Dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, mahasiswa PAI harus memiliki kepekaan yang akurat dalam memperhatikan perkembangan individu berdasarkan keragaman minat, bakat, dan keunggulan setiap siswa. Proses kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan strategi yang variatif, baik kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas. Pembelajaran tidak hanya dilihat sebatas upaya guru menyampaikan materi pelajaran atau informasi kepada siswa. Melainkan, bagaimana guru memanfaatkan lingkungan dalam upaya menyediakan objek nyata untuk memperkaya pengalaman belajar siswa.  
Akhirnya, kurikulum dan model pembelajaran pendidikan agama Islam yang terkonsep, akan termaknai secara hakiki ketika mahasiswa PAI sebagai calon ‘pelaksana kurikulum’ memiliki kemauan untuk selalu belajar. Karena berkat ilmu dan pengalamannya, seseorang akan mampu melakukan refleksi terhadap kondisi masyarakat dan menawarkan langkah serta terobosan untuk perbaikan dan kemajuan, dalam hal terhadap pemahaman keagamaan Islam dalam lembaga pendidikan. Dan, sebagai kader intelektual di masa depan, mahasiswa PAI seyogyanya memiliki keberanian—dan sering berbicara lantang—baik pada tingkat ide maupun praktis untuk perubahan tersebut. Inilah yang membedakan intelektual dengan inteligensia, orang terpelajar, yang lebih sibuk dan terkurung dalam ilmu dan kepakarannya yang sempit dan teknikal.




0 komentar:

Post a Comment