Kaum intelektual termasuk jenis ‘manusia
minoritas’ dalam sebuah komunitas masyarakat. Meski jumlahnya selalu sedikit,
mereka sangat dibutuhkan karena mereka merupakan poros sentral bagi perubahan
masyarakatnya. Namun perubahan itu terkadang menjadikan kondisi yang tidak
kondusif. Apalagi, ketika perubahan yang ditawarkan intelektual menyangkut
pemikiran dan praktik keagamaan yang telah mentradisi dalam waktu yang sangat
panjang. Dan, karena itu, dianggap sebagai hal yang tidak bisa dipersoalkan,
apalagi diubah. Karena itu, intelektual yang menawarkan gagasan dan konsep yang
mungkin terlalu abstrak bagi kalangan publik sering mendapatkan tantangan dari
kalangan masyarakatnya sendiri. Tidak jarang mereka dilihat dengan penuh
prasangka dan bahkan dituduh sebagai ‘sesat’ dan ‘menyimpang’. Karena itu,
intelektual sering berada dalam dilema dan posisi sulit; pada satu pihak ia
memiliki tanggung jawab moral publik untuk menyerukan dan mendorong perubahan,
tetapi pada pihak lain ia mendapat tantangan yang tidak jarang sangat sengit
dan bermusuhan dari kalangan masyarakat. Tetapi, justru di sinilah terletak
integritas intelektual; tidak cepat menyerah pada berbagai tantangan.
Tantangan yang dihadapi dalam pendidikan agama (Islam)
bukan hanya menyajikan doktrin agama Islam yang bersifat normatif sebagai sebuah
pengetahuan akan tetapi pemberlakuan secara totalitas terhadap nilai-nilai
keislaman. Dan permberlakuan tersebut mencakup perwujudan nilai-nilai keislaman
yang dipahaminya secara komperehensif, moralitas yang beraktualisasi dan pembentukan
sikap yang lapang serta santun terhadap perbedaan.
Mahasiswa
PAI sebagai salah satu kader penggerak dalam pemahaman wawasan keislaman
dituntut memiliki pemahaman yang komperehensif mengenai ajaran Islam sehingga
kemampuan untuk penempatan secara rasional dan bijaksana terhadap Islam dapat
diberlakukan. Dogma ajaran Islam yang bersifat prinsipil merupakan suatu
penegasan terhadap identitas agama secara kultural semata. Mahasiswa PAI sebagai
‘calon pelaksana kurikulum agama Islam’ yang ideal, diharapkan dapat menghadirkan
pemahaman Islam yang tepat dan memiliki rasa keberagamaan yang santun serta
lapang terhadap perbedaan. Hal tersebut dapat diterapkan melalui konsep ajaran
Islam yang menyajikan nilai-nilai inklusif dalam agama tanpa harus mengurangi
keyakinan yang dianut seseorang sebagai sebuah identitas dirinya. Dengan
demikian nampak jelas bahwa keberadaan mahasiswa PAI sebagai ‘calon pelaksana
kurikulum agama Islam’ mutlak menyampaikan ajaran – ajaran dalam agama Islam
berdasarkan prinsip inklusifitas dan
santun terhadap gagasan yang berbeda. Dalam hal ini,
menyajikan pemahaman yang komperehensif sehingga dapat diterima oleh semua
orang dari beragam latar belakang dapat dijadikan solusi. Karena 'pembawa
beritanya' (guru agama) sadar bahwa kebenaran yang mutlak itu dapat ditinjau
berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda. Ketika terdapat unsur pemaksaan
dalam penyampaian 'kebenaran' hal itu berarti yang disampaikan bukan sebuah
kebenaran melainkan pembenaran berdasarkan sudut pandang tertentu. Dengan
demikian semakin mendekati seseorang memahami kebenaran dari berbagai sudut
pandang maka semakin meluas pula jiwanya menghargai keberagaman pemahaman. Keresahan
terus akan terjadi ketika masih banyak masyarakat disibukan dengan memperindah
terhadap 'tali pegangannya' masing-masing, kenapa harus seperti itu? Karena
sibuk dengan pegangan sendiri, kita sering melupakan bahwa para pemilik
'pegangan lain' memiliki hak untuk memperoleh lisensi perlindungan dan
keselamatan ketika hendak melakukan komunikasi baik secara vertikal maupun
horizontal. Padahal akan lebih bermanfaat ketika seluruh pegangan mensejajarkan
diri membentuk seperti jembatan agar tiap-tiap individu sesama pemilik pegangan
berjalan dengan penuh rasa aman. Sehingga nampak jelas bahwa Islam rahmatan
lil alamin
Selanjutnya,
ketika pemahaman mengenai keberagamaan mahasiswa PAI telah terkondisikan secara
komperehensif dan benar dalam diri ‘pelaksana kurikulum’, maka langkah
berikutnya adalah bagaimana pemahaman itu dapat disampaikan secara tepat kepada
peserta didik. Dalam hal ini, penguasaan terhadap strategi pembelajaran PAI
perlu menjadi fokus penguasaan mahasiswa PAI berikutnya. Dengan demikian, perlu
adanya upaya perubahan proses yang diawali dengan memperkaya strategi
pembelajaran yang variatif. Pendidikan agama diorientasikan untuk menciptakan
perilaku siswa didik yang sesuai dengan ajaran agama. Penekanan kompetensi
berbasis agama ini juga mengandaikan pendidikan agama dilaksanakan dengan
menyeimbangkan tiga aspek sekaligus, yakni; aspek iman, aspek ilmu, dan aspek amal
(kognitif, afektif dan psikomotorik).
Proses belajar mengajar
memang sangat kompleks untuk dibicarakan. Ia merupakan suatu sistem yang
melibatkan masukan dasar yaitu siswa; masukan instrumental yaitu guru,
kurikulum dan sarana; serta masukan lingkungan yaitu alam, sosial dan budaya.
Proses belajar mengajar adalah interaksi antarmasukan itu. Karena itu
situasinya kompleks sekali. Namun kita dapat memfokuskan perhatian pada satu
situasi kecil, misalnya respon siswa terhadap materi (substansi) yang
dihadapkan kepadanya; atau respon siswa terhadap tindakan guru (metodologi,
asesment, peragaan), atau respon siswa terhadap lingkungan. Situasi kecil itu, masih dapat kita khususkan lagi.
Misalnya: Respon siswa terhadap materi tertentu, kita hanya mencermati
kesalahan-kesalahan siswa dalam menangkap suatu konsep (miskonsepsi). Respon siswa terhadap tindakan guru, kita
mencoba mencermati sikap anak terhadap pertanyaan guru, atau sikap anak jika
menghadapi soal cerita, atau sikap anak terhadap peragaan. Respon siswa
terhadap lingkungan, kita mencoba mencermati motivasi belajar pada pagi hari
dibandingkan sore hari, atau sikap anak jika guru suka sekali berbahasa
daerahnya. Situasi yang telah dipilih itu, digambarkan secara deskriptif. Lalu
munculkan masalah yang terjadi pada situasi itu. Yang dimaksudkan masalah
adalah kesenjangan antara kenyataan yang ada dalam situasi itu (tidak memuaskan),
dengan situasi yang menjadi harapan (memuaskan) guru.
Dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, mahasiswa
PAI harus memiliki kepekaan yang akurat dalam memperhatikan perkembangan
individu berdasarkan keragaman minat, bakat, dan keunggulan setiap siswa. Proses
kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan strategi yang variatif,
baik kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas. Pembelajaran tidak hanya
dilihat sebatas upaya guru menyampaikan materi pelajaran atau informasi kepada
siswa. Melainkan, bagaimana guru memanfaatkan lingkungan dalam upaya
menyediakan objek nyata untuk memperkaya pengalaman belajar siswa.
Akhirnya, kurikulum dan
model pembelajaran pendidikan agama Islam yang terkonsep, akan termaknai secara
hakiki ketika mahasiswa PAI sebagai calon ‘pelaksana kurikulum’ memiliki
kemauan untuk selalu belajar. Karena berkat ilmu dan pengalamannya, seseorang
akan mampu melakukan refleksi terhadap kondisi masyarakat dan menawarkan
langkah serta terobosan untuk perbaikan dan kemajuan, dalam hal terhadap
pemahaman keagamaan Islam dalam lembaga pendidikan. Dan, sebagai
kader intelektual di masa depan, mahasiswa PAI seyogyanya memiliki
keberanian—dan sering berbicara lantang—baik pada tingkat ide maupun praktis
untuk perubahan tersebut. Inilah yang membedakan intelektual dengan
inteligensia, orang terpelajar, yang lebih sibuk dan terkurung dalam ilmu dan
kepakarannya yang sempit dan teknikal.
0 komentar:
Post a Comment