Pluralisme Sebagai Kehendak Tuhan

Posted by Kongkow edu On Wednesday, March 25, 2009 0 komentar
Sejarah peradaban dunia adalah sejarah yang bergelimang konflik. Konflik yang timbul antar peradaban yang ditimbulkan oleh perbedaan persepsi antar satu peradaban dengan yang lainnya. Bahkan konflik itu juga terjadi dalam wilayah keagamaan. Konflik yang terjadi, atas nama agama, bahkan menimbulkan trauma dendam yang masih dirasakan membekas sampai saat ini. Agama dibenturkan oleh umatnya dengan alasan bahwa berperang dijalanNya akan mendapatkan balasan setimpal olehNya.


Dalam konteks Indonesia, meluasnya disintegrasi sosial merupakan salah satu fenomena krusial yang telah membuat negeri ini terbengkalai. Konflik horisontal antarsuku, agama, ras, serta berbagai golongan sampai saat ini masih marak terjadi. Fakta paling mutakhir berkenaan dengan masalah tersebut adalah bergolaknya kembali konflik bernuansa agama di Ambon. Selain itu juga terdapat kasus - kasus lain yang tak kalah dahsyatnya seperti kasus Sampit, peristiwa Kupang NTT, pertikaian di Maluku dan pertikaan Ambon yang semuanya pertikaian antara Muslim dan kristian, dan sebagainya. Hal ini juga menjadi bukti betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme di negeri kita. Sehingga tidak heran kalau belakangan ini rasa kebersamaan sudah tidak tampak lagi dan nilai-nilai kebudayaan yang dibangun menjadi terberangus.

Adanya konflik seolah-olah membenarkan bahwa agama penuh dengan kekerasan. Agama penuh dengan wajah dendam, wajah perang, dan wajah anti damai. Apakah demikian ? Dengan konflik itu, sejarah peradaban manusia seakan-akan ikut membenarkan dalil Karl Marx bahwa “agama adalah candu masyarakat”. Masyarakat beragama untuk merasakan kecanduan akan “kekerasan dalam agama”. Lalu timbul suatu pertanyaan yang cukup menyentak : Apakah agama merupakan masalah? Apakah dengan turunnya agama ke muka bumi ini, manusia justru makin menambah masalahnya?
Perlu adanya sebuah solusi konkrit yang harus diupayakan untuk mengelola dan membina mental masyarakat agar menjunjung tinggi dan menghormati pluralisme budaya (cultural diversity) dan keberagaman keagamaan serta kemajemukan tingkah laku dalam lingkup sosial.

Membina Pribadi Yang Memiliki Mental Pluralis

Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal.
(QS Al-Hujarat: 13)

Keragaman adalah suatu kenyataan hidup yang harus diterima. Ia adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana dinyatakan pada ayat diatas bahwa manusia itu bukan semata-mata laki-laki tapi juga perempuan, manusia juga hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Sungguh terlalu besar dunia ini, jika hanya dihuni oleh kita seorang diri.

Untuk konteks Indonesia, kita melihat dinegeri ini terdapat beberapa agama, bermacam-macam suku, bahasa yang berbeda-beda, begitu pula bila diperluas pada perbedaan tingkat kehidupan sosial. Jika keragaman tersebut tidak diletakan dalam rangka kesadaran untuk menerima kenyataan itu sebagai sebuah kondisi objektif, maka sewaktu-waktu ia menjadi potensi explosif, yang jika meledak akan menimbulkan berbagai kerugian, seperti yang telah beberapa kali terjadi ditanah air.

Telah banyak tuntutan bahkan contoh dari Islam, betapa kita seharusnya bisa hidup berdampingan, saling menghormati, bekerja sama, saling membantu, dengan orang lain yang mungkin berbeda agama dengan kita, berbeda bangsa, berbeda suku, berbeda warna kulit, berbeda bahasa dan sebagainya. Pertentangan atau bahkan permusuhan baru muncul, manakala ada diantara kita yang merasa superior dari yang lain, merasa paling benar lalu menyalahkan yang lain, merasa paling kaya lalu menghina yang lain, meremehkan orang lain, menciptakan kesenjangan karena merasa tidak patut bergaul dengan orang lain yang tidak sederajat dengannya.

Kesadaran akan pluralisme sebagai sebuah kenyataan hidup harus kita miliki, sebab kecenderungan mempertajam isu-isu SARA yang belakangan bisa menimbulkan disintegrasi bangsa, padahal persatuan serta keutuhan bangsa merupakan salah satu modal terpenting dalam pembangunan.

Gunakan Bahasa Pluralis: Toleransi dan Dialog
Perbedaan dalam agama dalam konteks pluralisme tidak juga dapat diselesaikan dalam konteks “saling melengkapi”, karena adanya suatu rumusan iman yang berbeda antar agama menjadi suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Penyelesaian konflik akibat perbedaan agama dapat diselesaikan dengan bentuk dialog dan toleransi. Itulah inti dari pluralisme keberagamaan. Dialog dan toleransi bukanlah bertujuan untuk menyangkal rumusan iman agama lain, tetapi berusaha memahaminya dengan bahasa yang digunakan oleh agama lain. Dialog juga bukan bertujuan untuk menyangkal keimanan dalam agama sendiri, tetapi justru menguatkan dan meneguhkan. Itulah bahasa pluralisme: dialog dan toleransi. Dan toleransi yang sejati adalah memahami dan mengeratkan keluar dan menguatkan dan meneguhkan kedalam.

Jika berkehendak, niscaya Tuhan menjadikan manusia satu umat. Namun Tuhan tidak menghendaki kehidupan “satu warna”. Akhirnya, Tuhan Yang Esa, Bapak yang satu (Adam), Ibu yang satu (Hawa) dan agama yang satu (kepasrahan) telah menjadikan banyak warna dengan semua perbedaan yang ada. Karena keberagaman itu menjadi sebuah kenikmatan dalam kehidupan.

0 komentar:

Post a Comment