Kepemimpinan Pendidikan Berbasis Multikultural; Solusi Penyelesaian Konflik Budaya Dalam Institusi Pendidikan

Posted by Kongkow edu On Thursday, October 27, 2011 3 komentar



     Pendahuluan
Indonesia adalah negara pluralis, yang dihuni oleh beragam etnis, budaya dan agama. Dan telah menjadi konsumsi umum bahwa keragaman adalah karakteristik bangsa Indonesia. Ini akan menjadi manifestasi yang berharga bagi bangsa Indonesia, jika dikelola dengan baik. Namun jika tidak dikelola dengan baik keragaman akan menjadi masalah penting yang menyebabkan terjadinya konflik.
Di era globalisasi dengan interaksi antarbangsa menjadi semakin intensif, terbuka dan transparan, tanpa terkecuali kondisi keragaman di Indonesia yang sangat komplek dan tidak sederhana. Adanya proses saling mempengaruhi antar budaya kerap terjadi dalam interaksi tersebut. Namun proses itu tidak selalu berlangsung sebagai proses dua arah atau timbal balik yang berimbang, melainkan bisa jadi budaya yang satu berpengaruh dominan terhadap budaya lainnya. Ini membuktikan bahwa saat ini nilai-nilai agama, budaya lokal dan jati diri bangsa seperti kekeluargaan, keramahtamahan dan sopan santun semakin memudar bersamaan dengan menguatnya materealisme, pergaulan bebas individualisme, konsumerisme dan hedonisme. Madjid mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Islam Doktrin Dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan” bahwa dalam merespon keragaman dalam bingkai persatuan diperlukan sikap bersama yang sehat untuk diterapkan di masyarakat , yaitu menggunakan segi-segi kelebihan setiap individu masing-masing untuk secara maksimal saling mendorong terhadap terwujudnya kebaikan dalam masyarakat, yaitu melalui pengembangan sikap multikultural di masyarakat. Dalam wacana multikulturalisme, tidak hanya membutuhkan pengakuan terhadap keberagaman, tetapi juga menuntut adanya kesadaran budaya yang inklusif dan transformatif, melalui adanya dialektika-tranformatif terhadap budaya internal-komunitas yang tumbuh dan berkembang dengan keberadaan ‘budaya asing’ sebagai proses dari interaksi sosial kemasyarakatan.
Dan Fadjar menyatakan bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam dialektika-transformasi sosial budaya yang diharapkan untuk mengembangkan budaya sosial yang menghargai dan menghormati keragaman di dalam masyarakat. Spektrum komunitas budaya yang berbeda-beda akan menjadi tantangan bagi proses pendidikan untuk dikelola menjadi aset berharga. Dimana keragaman yang ada dijadikan sebuah kekuatan untuk memajukan bangsa berbasis pengembangan pendidikan berbasis multikultural. Pada prinsipnya proses pendidikan memberikan kesempatan yang sama bagi semua siswa dari berbagai latar belakang agama, etnis, jenis kelamin, budaya, kelas sosial dan ras serta warna kulit. Hal ini sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang termaktub dalam undang undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun 2003 pasal 4 ayat 1, yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan yang seharusnya menjadi model bagi penanaman nilai-nilai demokratis dan berkeadilan serta menghargai keragaman budaya. Realitanya, belum dapat berperan secara maksimal dalam membentuk sikap dan rasa saling menghargai terhadap keberagaman. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya konflik bernuansa SARA yang terjadi di Indonesia. Kondisi ini terjadi tidak lepas dari masih lemahnya kualitas manusia di Indonesia. Permasalahan lemahnya kualitas manusia terkait erat dengan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Untuk menyikapi hal tersebut, salah satu yang perlu dilakukan adalah revitalisasi pendidikan. Revitalisasi pendidikan ini termasuk dalam hal perubahan paradigma kepemimpinan pendidikan, terutama dalam pola hubungan atasan bawahan yang semula bersifat hierarkis-otokratis menuju ke arah kemitraan bersama berbasis multikultural. kepemimpinan pendidikan multikultural dapat menjadi sebuah model kepemimpinan yang mampu mengayomi masyarakat lintas budaya yang dipimpinnya.Berdasarkan penjelasan di atas, penulis membatasi dan merumuskan masalah dalam makalah ini dengan resolusi konflik budaya melalui kepemimpinan pendidikan berbasis multikultural. Tujuannya adalah  agar terbentuk sebuah wacana konseptual mengenai kepemimpinan pendidikan berbasis multikultural pada lembaga pendidikan di Indonesia. Dalam makalah ini penulis menggunakan pendekatan explorative study dengan metode studi literatur, yang difokuskan kepada literartur multikulturalisme dan kepemimpinan pendidikan berbasis multikultural serta data-data hasil kajian yang relevan dengan makalah ini, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan termasuk publikasi internet.

     Memahami Budaya Organisasi Dalam Institusi Pendidikan
Dalam sebuah organisasi tanpa terkecuali pendidikan terdapat budaya yang disepakati sebagai acuan untuk melaksanakan tujuan bersama, karena budaya yang disepakati ini akan menjadi pemersatu dalam kinerja yang menghasilkan suasana kondusif. Hal ini selaras apa yang dinyatakan oleh Chowdhury[1] bahwa budaya sebagai sumber keunggulan kompetitif utama berkelanjutan dapat dijadikan sebagai pemersatu dalam organisasi sistem, struktur dan karir. Dan budaya juga dapat diartikan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar.[2]
Budaya organisasi merupakan suatu kesepakatan dalam organisasi yang bersifat menyeluruh dalam upaya untuk membangun potensi manusia, proses kerja dan hasil kerja yang lebih baik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Triguno [3] bahwa budaya organisasi adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai “kerja” atau “bekerja”. Untuk mencapai tingkat kualitas yang makin baik tersebut diharapkan bersumber dari perilaku setiap individu yang terkait dalam organisasi kerja itu sendiri. Setiap fungsi atau proses kerja mempunyai perbedaan cara kerja, yang mengakibatkan berbeda nilai-nilai yang cocok untuk diambil dalam kerangka kerja organisasi.
Melaksanakan budaya organisasi, khususnya dalam lembaga pendidikan seperti sekolah mempunyai arti yang sangat dalam, karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam melaksanakan tujuan bersama. Dalam hal ini, dibutuhkan sebuah penafsiran bersama terhadap sikap dan prilaku yang akan diberlakukan di sekolah. Hal di atas sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Tilaar bahwa budaya organisasi sekolah agar mampu mengikuti, menyeleksi, dan berinovasi terhadap perubahan yang terjadi.[4] Sehingga peranan sekolah sebagai agen perubahan yang selalu siap untuk mengikuti perubahan yang terjadi selalu dapat terkondisikan.
Adapun indikator-indikator budaya organisasi menurut Ndraha[5]  dapat dikategorikan tiga, yaitu:
1)      Kebiasaan
Kebiasaan-kebiasaan biasanya dapat dilihat dari cara pembentukan perilaku berorganisasi pegawai, yaitu perilaku berdasarkan kesadaran akan hak dan kewajiban, kebebasan atau kewenangan dan tanggungjawab baik pribadi maupun kelompok di dalam ruang lingkup lingkungan pekerjaan. Adapun istilah lain yang dapat dianggap lebih kuat ketimbang sikap, yaitu pendirian (position), jika sikap bisa berubah pendiriannya diharapkan tidak berdasarkan keteguhan atau kekuatannya. Maka dapat diartikan bahwa sikap merupakan cermin pola tingkah laku atau sikap yang sering dilakukan baik dalam keadaan sadar ataupun dalam keadaan tidak disadar, kebiasaan biasanya sulit diperbaiki secara cepat dikarenakan sifat yang dibawa dari lahiriyah, namun dapat diatasi dengan adanya aturan-aturan yang tegas baik dari organisasi ataupun perusahaan.
2)      Peraturan
Untuk memberikan ketertiban dan kenyamanan dalam melaksanakan tugas pekerjaan pegawai, maka dibutuhkan adanya peraturan karena peraturan merupakan bentuk ketegasan dan bagian terpenting untuk mewujudkan pegawai disiplin dalam mematuhi segala bentuk peraturan-peraturan yang berlaku di lembaga pendidikan. Sehingga diharapkan pegawai memiliki tingkat kesadaran yang tinggi sesuai dengan konsekwensi terhadap peraturan yang berlaku baik dalam organisasi perusahaan maupun di lembaga pendidikan.
3)      Nilai-nilai
Nilai merupakan penghayatan seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar. Untuk dapat berperan nilai harus menampakkan diri melalui media atau encoder tertentu. Nilai bersifat abstrak, hanya dapat diamati atau dirasakan jika terekam atau termuat pada suatu wahana atau budaya kerja. Jadi nilai dan budaya kerja tidak dapat dipisahkan dan keduanya harus ada keselarasan dengan budaya kerja searah, keserasian dan keseimbangan. Maka penilaian dirasakan sangat penting untuk memberikan evaluasi terhadap kinerja pegawai agar dapat memberikan nilai baik secara kualitas maupun kuantitas.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam penyelengaraan pendidikan diharapkan para pelaksana pendidikan di sekolah dapat mengubah budaya organisasinya sesuai dengan kondisi yang ada. Terdapat beberapa kriteria kelompok dalam merespon perubahan dikemukakan oleh Hani[6], yaitu: 1) menyangkal perubahan yang terjadi, 2) mengabaikan adanya perubahan, 3) menolak perubahan, 4) menerima perubahan dan menyesuaikan dengan perubahan, dan 5) mengantisipasi perubahan dan merencanakannya. Kondisi yang terjadi mengenai sikap, perilaku, pola pikir, tindakan terhadap keadaan organisasi adalah merupakan suatu budaya organisasi. Budaya organisasi dapat diciptakan dan dikondisikan oleh sesama tenaga kerja yang ada di organisasi bersangkutan. Budaya organisasi memiliki peranan yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan keefektifan kinerja organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial yang mengikat sesama anggota organiasi secara bersama-sama dalam suatu visi dan tujuan yang sama.

     Pemaknaan Kepemimpinan dalam Pendidikan
Banyak definisi mengenai kepemimpinan yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, tergantung pada perspektif yang digunakan. Kepemimpinan dapat didefinisikan berdasarkan penerapannya pada bidang militer, olahraga, bisnis, pendidikan, industri dan bidang-bidang lainnya. Tannenbaum, Weschler dan Massarik[7] kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau beberapa tujuan tertentu.  Slamet Santosa[8] mendefinisikan kepemimpinan sebagai usaha untuk mempengaruhi anggota kelompok agar mereka bersedia menyumbangkan kemampuannya lebih banyak dalam mencapai tujuan kelompok yang telah disepakati. Sehingga dalam konteks pengertian kepemimpinan di atas, terdapat berberapa hal yang saling terkait, yaitu adanya unsur penggerak, orang yang digerakan, komunikasi, tujuan organisasi dan manfaat yang tidak hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Robbins[9] mendefinisikan  kepemimpinan sebagai kemampuan untuk memengaruhi sebuah kelompok untuk mencapai suatu  visi atau serangkaian tujuan tertentu).  Davis dan Newstrom[10] mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah Proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias mencapai tujuan. Sementara itu, Nawawi[11]  melihat kepemimpinan sebagai proses mengarahkan, membimbing, mempengaruhi atau mengawasi pikiran, perasaan atau tindakan.
Beckhard[12] mengemukakan ada dua prinsip kepemimpinan. “Prinsip pertama adalah adanya hubungan antara pemimpin dan pengikutnya dan prinsip kedua adalah bahwa pemimpin yang efektif menyadari dan mengelola secara sadar dinamika hubungan antara pemimpin dan pengikutnya.” Lebih jauh Idochi[13] mengemukakan bahwa:
… kemampuan seorang pemimpin dalam menggunakan kewenangannya untuk menggerakkan organisasi melalui keputusan yang dibuatnya. Pengertian yang lebih populer menunjuk pada pola keharmonisan interaksi antara pemimpin diimplementasikan dalam bentuk pembimbingan dan pengarahan terhadap bawahan. Pola interaksi biasanya diawali dengan upaya mempengaruhi bawahan agar mereka mau digerakkan sesuai dengan tujuan organisasi.
Dalam konteks sekolah Laws[14] yang dikutip oleh Turney, menjelaskan kepemimpinan sebagai berikut :
“Leadership, in the context of a school, help bring meaning and asense of purpose to the relationship between the leader, the staff, the students, the parents and the wider school community. Leadership is not only a matter of what a leader does, but how a leader makes people feel about themselves in the work situation and about the organisation itself.”
Jika pengertian kepemimpinan di atas diterapkan dalam lembaga atau organisasi pendidikan maka kepemimpinan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk menggerakkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Soetopo dan Sumanto[15] yang mengemukakan bahwa” kepemimpinan pendidikan adalah kemampuan untuk menggerakkan dan membimbing orang yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.” Sehingga dalam kasus kepemimpinan pendidikan berbasis lintas budaya, seorang pemimpin dituntut bagaimana agar dapat menggerakkan masyarakat yang dipimpinnya tanpa ada dominasi budaya tertentu yang menyebabkan terjadinya konflik dalam pendidikan sehingga tercapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan bersama.

     Peran Kepemimpinan Pendidikan Berbasis Multikultural Dalam Penyelesaian Konflik  Pada Institusi Pendidikan
Adanya dominasi budaya tertentu terhadap budaya lain di dalam satu komunitas, tak terkecuali dalam sebuah lembaga pendidikan dapat mengakibatkan ketegangan yang berujung kepada konflik. Hal demikian sering terjadi akibat adanya penempatan yang tidak tepat dalam identitas lokal, nasional maupun universal pada saat berinteraksi maupun bersosialisasi. Sehingga seseorang tanpa adanya kesadaran yang lapang merasa benar dengan membawa dominasi identitas lokal ke dalam komunitas yang multikultural.  Dalam hal ini perlu paradigma kepemimpinan yang tepat agar dominasi budaya tertentu dalam sebuah komunitas yang beragam tidak terjadi. Pada kasus kepemimpinan dalam pendidikan, paradigma yang harus dibenahi adalah paradigma kepemimpinan yang bersifat hierarkis-otokratis menuju kepemimpinan yang berbasis kemitraan bersama dalam naungan kepemimpinan pendidikan dengan paradigma multikultural.
Kepemimpinan hierarkis-otokratis[16] seringkali diwarnai oleh sikap dan prilaku pemaksaan kehendak dan pragmatis, yang menyebabkan terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif bawahan. Para bawahan cendrung bersikap apriori, sehingga dalam melakukan tugas dan kewajiban hanya berdasarkan perintah atasan. Dengan kondisi demikian akan sulit dicapai kinerja yang unggul. Maka perlu kebijakan perubahan kepemimpinan pendidikan yang dapat memberdayakan bawahan yang beranekaragan budaya, etnik, agama dan kemampuan. Dalam hal ini Dimmock dan Walker[17] mengetengahkan tentang Cross Cultural Leadership (kepemimpinan lintas budaya) yaitu kepemimpinan yang berdasarkan pemahaman budaya yang ada sekaligus dampaknya terhadap kelangsungan masyarakat sosial dalam lingkup budaya tertentu. Model kepemimpinan demikian, diharapkan dapat mendorong motivasi, memberdayakan dirinya dan memiliki tanggung jawab atas tugas yang diembannya. Kepatuhan tidak lagi didasarkan pada kontrol eksternal namun berkembang dari hati sanubari disertai dengan pertimbangan rasionalnya.  Kepemimpinan multi budaya pada pendidikan intinya merujuk pada upaya memperdayakan setiap komponen manusia yang multi budaya untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam pendidikan. Setiap manusia dipandang sebagai individu yang memiliki kekuatan cipta, rasa dan karsa serta mempunyai tempat untuk berkembang sebagaimana mestinya, maka hal ini mempunyai kekuatan bagi lembaga pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hersey dan Blanchard[18] mengatakan bahwa gaya kepemimpinan akan sangat efektif apabila mengakomodir budaya dan lingkungan. Untuk itu ditawarkan konsep kepemimpinan multi-kultur, yaitu kepemimpinan yang menggunakan perspektif multukultural. Secara makna multi-kultur berarti  membandingkan atau menangani dua atau lebih budaya yang berbeda terkait dengan berbagai budaya daerah, bangsa dan lainnya.
Di dalam kepemimpinan multi-kultur ini, lebih ditujukan kepada budaya pemimpin (yang mempengaruhi) yang berbeda dengan pengikutnya (yang dipengaruhi). Maka kepemimpinan multi-kultur merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi dan memotivasi anggota grupnya yang berbeda budaya dengan sengaja dan tidak seimbang menuju sasaran yang diterapkan dengan mempertimbangkan pengetahuan dan sistem makna dari budaya yang berbeda didalam grup. Atau dengan kata lain adalah pemimpin yang mampu menyesuaikan dan menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi, budaya dan kondisi lingkungan yang beragam.
Budaya secara tidak langsung berpengaruh terhadap prilaku kepemimpinan. Hal itu dikemukakan oleh Bowditch dan Buono[19] dengan alasan bahwa sikap dan prilaku seseorang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegangnya, dan nilai – nilai itu dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan sosial. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya perlu menyadari bahwa setiap individu, walaupun berada dalam satu unit kerja yang sama namun tetap memiliki nilai-nilai yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, agar proses kepemimpinan dapat berjalan dengan efektif, maka setiap pemimpin hendaknya menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi yang ada sehingga tidak menimbulkan masalah dan konflik dengan bawahannya dan organisasinya.

     Penutup
Keberagaman yang menjadi suatu anugerah yang berharga bagi suatu negara akan menjadi malapetaka ketika tidak adanya konsep dan regulasi yang jelas dalam suatu negara tersebut. Tak terkecuali, bagi Indonesia sebuah negara yang memiliki keragaman etnik dan budaya yang telah memiliki regulasi yang mendukung terciptanya sikap dan perilaku yang saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan, masih sering disibukkan oleh berbagai macam konflik berbasis SARA. Hal ini terjadi karena lemahnya kualitas manusia yang merealisasikannya, sehingga implementasi terhadap regulasi dan konsep kurang berjalan maksimal. Sebagai sebuah solusi, perlu adanya revitalisasi pendidikan, hal itu dikarenakan pendidikan sebagai salah satu media yang tepat dalam melakukan transformasi budaya yang mengahargai keberagaman. Langkah konkrit terhadap revitalisasi itu dapat diwujudkan dengan memulainya dari faktor kepemimpinan dalam pendidikan, merubah kepemimpinan hierarkis-otokratis menjadi kemimpinan pendidikan yang multikultural, sebuah model kepemimpinan yang mampu mengayomi masyarakat lintas budaya yang dipimpinnya.

[1]Subir  Chowdhury, Organisasi Abad 2 (Jakarta: PT. Indeks kelompok Gramedia, 2005), 327.
            [2]Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1989), 2.
             [3] Prasetya Triguno, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), 13.
[4]H. A. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia (Bandung: Remaja Rosyada Karya, 2000), 41.
             [5]Taliziduhu Ndraha, Teori Budaya Organisasi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), 25.
[6]Handoko, T. Hani, Manajemen (Yogyakarta: BPFE, 2001), 322-323.
[7]Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, terj. Jusuf Udaya (Jakarta: Prenhallindo, 1994),  2.
[8]Slamet Santosa, Dinamika Kelompok  (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),  44.
[9]Stephen P. Robbins & Timothy A. Judge, Organizational Behaviour. terj. Diana Angelica. Perilaku Organisasi (Jakarta: Salemba Empat, 2004 ), 48.
[10]Keith Davis & John W. Newstrom, Human Behavior at Work: Organizational Behavior, terj. Agus Darma. Perilaku Dalam Organisasi (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, TT), h.151.
[11]Hadari Nawawi,  Administrasi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 1991), 33.
[12]Richard Beckhard, The Leader Of the Future.  terj. Achmad Kemal. Organisasi Masa Depan (Jakarta: Gramedia, 2000), 125-126.
[13]Moh. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan: Teori, Konsep, dan Isu (Bandung: Alfabeta, 2003), 26.
[14]Turney C., dkk, The School Manager (Sidney: Allen and Unwin, 2006), 48.
[15]Hendyat Soetopo & Wasty Soemanto, Kepemimpinan Dan Supervisi Pendidikan (Malang: FKIP-IKIP, 1984), 4.

[16]Menurut Nanus dalam Hessel mengemukan bahwa kepemimpinan otokratis-hierarkis  menyebabkan aggota organisasi kehilangan percaya diri dan motivasi karena kepemimpinan otokratis-hierarkis beranggapan bahwa kewenangannya bersumber pada posisinya dan bawahannya malas serta tidak dapat dipercaya. Lihat Hessel Nogi S. Tangkilisan, Manajemen Publik (Jakarta: Grasindo,  2005), 122.
[17]George L. Goethals, Encyclopedia of Leandership: volume 1, (London: Sage publication, 2005),  21.
[18]Y. Hong & L.M Mallorie, A Dynamic Constructivist Approch to Cultur: Lessons Learned  Form Personality Psichology, Jurnal of Research in personality, 38, 2004, 60.
[19]R. Alas, Ethics in Countries whit Diffrent Culture Dimensions, Jurnal of Business Ethies, Vol. 69, 2006,  237.



3 komentar:

Purwanto Hudi said...

Cobalah secara arif dan comprehensif mengimplementasikan model kepemimpinan Ki Hadjar D. yaitu Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani dengan semangat saling menghargai. Krn pd hakekatnya semua makhluk adalah ciptaanNya.Ini jk qt mengaku sbg umat beragama dan justru bukannya mengjustifikasi bahwa rog lain yg tdk seiman dianggap kafir, bahkan jk tdk semazab dianggap sesat. Smua itu domain Tuhan, Allah S.W.T n bukan domain manusia.

Kongkow Edu said...

Sangat setuju dg pak Purwanto Hudi, terkait dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, sekolah untuk para manusia bukan para robot.....pendidikan yang menjadi cita-cita Ki Hajar Dewantara adalah membentuk anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin. Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara ini sesuai dengan konsep pendidikan humanistik. terkait dg tulisan saya adl kepemimpinan dalam pendidikan berbasis lintas budaya yg mengayomi berbagai macam karakteristik tim kerja yg dipimpin.....dan saya coba menawarkan konsep kepemimpinan multikultur yaitu pemimpin yang mampu menyesuaikan dan menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi, budaya dan kondisi lingkungan yang beragam.

Unknown said...

pahami kata kafir, kafir bukan sebutan yang diperuntukkan menyakitkan hati non muslim, kafir sebutan utk org yg tidak mempercaya tuhan itu satu(esa), jadi buat non muslim jgn terlalu sensitif jika di katakan kafir, dan ingat di islam ad yg nama ny lebih parah lagi dari kata kafir, yaitu munafik

Post a Comment