Pendahuluan
Indonesia
adalah negara pluralis, yang dihuni oleh beragam etnis, budaya dan agama. Dan
telah menjadi konsumsi umum bahwa keragaman adalah karakteristik bangsa Indonesia.
Ini akan menjadi manifestasi yang berharga bagi bangsa Indonesia, jika dikelola
dengan baik. Namun jika tidak dikelola dengan baik keragaman akan menjadi
masalah penting yang menyebabkan terjadinya konflik.
Di
era globalisasi dengan interaksi antarbangsa menjadi semakin intensif, terbuka
dan transparan, tanpa terkecuali kondisi keragaman di Indonesia yang sangat
komplek dan tidak sederhana. Adanya proses saling mempengaruhi antar budaya
kerap terjadi dalam interaksi tersebut. Namun proses itu tidak selalu
berlangsung sebagai proses dua arah atau timbal balik yang berimbang, melainkan
bisa jadi budaya yang satu berpengaruh dominan terhadap budaya lainnya. Ini
membuktikan bahwa saat ini nilai-nilai agama, budaya lokal dan jati diri bangsa
seperti kekeluargaan, keramahtamahan dan sopan santun semakin memudar bersamaan
dengan menguatnya materealisme, pergaulan bebas individualisme, konsumerisme
dan hedonisme. Madjid mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Islam Doktrin Dan
Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan
Kemodernan” bahwa dalam merespon keragaman dalam bingkai persatuan diperlukan
sikap bersama yang sehat untuk diterapkan di masyarakat , yaitu menggunakan
segi-segi kelebihan setiap individu masing-masing untuk secara maksimal saling
mendorong terhadap terwujudnya kebaikan dalam masyarakat, yaitu melalui
pengembangan sikap multikultural di masyarakat. Dalam wacana multikulturalisme,
tidak hanya membutuhkan pengakuan terhadap keberagaman, tetapi juga menuntut
adanya kesadaran budaya yang inklusif dan transformatif, melalui adanya
dialektika-tranformatif terhadap budaya internal-komunitas yang tumbuh dan
berkembang dengan keberadaan ‘budaya asing’ sebagai proses dari interaksi
sosial kemasyarakatan.
Dan
Fadjar menyatakan bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam
dialektika-transformasi sosial budaya yang diharapkan untuk mengembangkan
budaya sosial yang menghargai dan menghormati keragaman di dalam masyarakat.
Spektrum komunitas budaya yang berbeda-beda akan menjadi tantangan bagi proses
pendidikan untuk dikelola menjadi aset berharga. Dimana keragaman yang ada
dijadikan sebuah kekuatan untuk memajukan bangsa berbasis pengembangan
pendidikan berbasis multikultural. Pada prinsipnya proses pendidikan memberikan
kesempatan yang sama bagi semua siswa dari berbagai latar belakang agama,
etnis, jenis kelamin, budaya, kelas sosial dan ras serta warna kulit. Hal ini
sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang termaktub
dalam undang undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun 2003 pasal 4 ayat
1, yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan
yang seharusnya menjadi model bagi penanaman nilai-nilai demokratis dan
berkeadilan serta menghargai keragaman budaya. Realitanya, belum dapat berperan
secara maksimal dalam membentuk sikap dan rasa saling menghargai terhadap
keberagaman. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya konflik bernuansa SARA
yang terjadi di Indonesia. Kondisi ini terjadi tidak lepas dari masih lemahnya
kualitas manusia di Indonesia. Permasalahan lemahnya kualitas manusia terkait
erat dengan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Untuk menyikapi hal
tersebut, salah satu yang perlu dilakukan adalah revitalisasi pendidikan.
Revitalisasi pendidikan ini termasuk dalam hal perubahan paradigma kepemimpinan
pendidikan, terutama dalam pola hubungan atasan bawahan yang semula bersifat
hierarkis-otokratis menuju ke arah kemitraan bersama berbasis multikultural.
kepemimpinan pendidikan multikultural dapat menjadi sebuah model kepemimpinan
yang mampu mengayomi masyarakat lintas budaya yang dipimpinnya.Berdasarkan
penjelasan di atas, penulis membatasi dan merumuskan masalah dalam makalah ini
dengan resolusi konflik budaya melalui kepemimpinan pendidikan berbasis
multikultural. Tujuannya adalah agar
terbentuk sebuah wacana konseptual mengenai kepemimpinan pendidikan berbasis
multikultural pada lembaga pendidikan di Indonesia. Dalam makalah ini penulis
menggunakan pendekatan explorative study dengan metode studi literatur,
yang difokuskan kepada literartur multikulturalisme dan kepemimpinan pendidikan
berbasis multikultural serta data-data hasil kajian yang relevan dengan makalah
ini, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan termasuk
publikasi internet.
Memahami
Budaya Organisasi Dalam Institusi Pendidikan
Dalam sebuah organisasi tanpa
terkecuali pendidikan terdapat budaya yang disepakati sebagai acuan untuk
melaksanakan tujuan bersama, karena budaya yang disepakati ini akan menjadi
pemersatu dalam kinerja yang menghasilkan suasana kondusif. Hal ini selaras apa
yang dinyatakan oleh Chowdhury[1]
bahwa budaya sebagai sumber keunggulan kompetitif utama berkelanjutan dapat
dijadikan sebagai pemersatu dalam organisasi sistem, struktur dan karir. Dan budaya juga dapat
diartikan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya
melalui proses belajar.[2]
Budaya organisasi merupakan
suatu kesepakatan dalam organisasi yang bersifat menyeluruh dalam upaya untuk
membangun potensi manusia, proses kerja dan hasil kerja yang lebih baik.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Triguno [3]
bahwa budaya organisasi adalah suatu falsafah yang
didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan
dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat
atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan,
cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai “kerja” atau “bekerja”. Untuk
mencapai tingkat kualitas yang makin baik tersebut diharapkan bersumber dari
perilaku setiap individu yang terkait dalam organisasi kerja itu sendiri. Setiap
fungsi atau proses kerja mempunyai perbedaan cara kerja, yang mengakibatkan
berbeda nilai-nilai yang cocok untuk diambil dalam kerangka kerja organisasi.
Melaksanakan budaya organisasi,
khususnya dalam lembaga pendidikan seperti sekolah mempunyai arti yang sangat
dalam, karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia untuk
mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam melaksanakan tujuan
bersama.
Dalam hal ini, dibutuhkan sebuah penafsiran bersama terhadap sikap dan prilaku
yang akan diberlakukan di sekolah. Hal di atas sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh Tilaar bahwa budaya organisasi sekolah agar mampu mengikuti,
menyeleksi, dan berinovasi terhadap perubahan yang terjadi.[4]
Sehingga peranan sekolah sebagai agen perubahan yang selalu siap untuk
mengikuti perubahan yang terjadi selalu dapat terkondisikan.
Adapun indikator-indikator
budaya organisasi menurut Ndraha[5]
dapat dikategorikan tiga, yaitu:
1)
Kebiasaan
Kebiasaan-kebiasaan biasanya
dapat dilihat dari cara pembentukan perilaku berorganisasi pegawai, yaitu
perilaku berdasarkan kesadaran akan hak dan kewajiban, kebebasan atau
kewenangan dan tanggungjawab baik pribadi maupun kelompok di dalam ruang
lingkup lingkungan pekerjaan. Adapun istilah lain yang dapat dianggap lebih
kuat ketimbang sikap, yaitu pendirian (position), jika sikap bisa berubah
pendiriannya diharapkan tidak berdasarkan keteguhan atau kekuatannya. Maka
dapat diartikan bahwa sikap merupakan cermin pola tingkah laku atau sikap yang
sering dilakukan baik dalam keadaan sadar ataupun dalam keadaan tidak disadar,
kebiasaan biasanya sulit diperbaiki secara cepat dikarenakan sifat yang dibawa
dari lahiriyah, namun dapat diatasi dengan adanya aturan-aturan yang tegas baik
dari organisasi ataupun perusahaan.
2)
Peraturan
Untuk memberikan ketertiban dan
kenyamanan dalam melaksanakan tugas pekerjaan pegawai, maka dibutuhkan adanya
peraturan karena peraturan merupakan bentuk ketegasan dan bagian terpenting
untuk mewujudkan pegawai disiplin dalam mematuhi segala bentuk
peraturan-peraturan yang berlaku di lembaga pendidikan. Sehingga diharapkan
pegawai memiliki tingkat kesadaran yang tinggi sesuai dengan konsekwensi
terhadap peraturan yang berlaku baik dalam organisasi perusahaan maupun di
lembaga pendidikan.
3)
Nilai-nilai
Nilai merupakan penghayatan
seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih
baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar. Untuk dapat
berperan nilai harus menampakkan diri melalui media atau encoder tertentu.
Nilai bersifat abstrak, hanya dapat diamati atau dirasakan jika terekam atau
termuat pada suatu wahana atau budaya kerja. Jadi nilai dan budaya kerja tidak
dapat dipisahkan dan keduanya harus ada keselarasan dengan budaya kerja searah,
keserasian dan keseimbangan. Maka penilaian dirasakan sangat penting untuk
memberikan evaluasi terhadap kinerja pegawai agar dapat memberikan nilai baik
secara kualitas maupun kuantitas.
Perubahan-perubahan yang terjadi
dalam penyelengaraan pendidikan diharapkan para pelaksana pendidikan di sekolah
dapat mengubah budaya organisasinya sesuai dengan kondisi yang ada. Terdapat
beberapa kriteria kelompok dalam merespon perubahan dikemukakan oleh Hani[6],
yaitu: 1) menyangkal perubahan yang terjadi, 2) mengabaikan adanya perubahan,
3) menolak perubahan, 4) menerima perubahan dan menyesuaikan dengan perubahan,
dan 5) mengantisipasi perubahan dan merencanakannya. Kondisi yang terjadi
mengenai sikap, perilaku, pola pikir, tindakan terhadap keadaan organisasi
adalah merupakan suatu budaya organisasi. Budaya organisasi dapat diciptakan
dan dikondisikan oleh sesama tenaga kerja yang ada di organisasi bersangkutan.
Budaya organisasi memiliki peranan yang sangat strategis untuk mendorong dan
meningkatkan keefektifan kinerja organisasi, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial yang mengikat
sesama anggota organiasi secara bersama-sama dalam suatu visi dan tujuan yang
sama.
Pemaknaan
Kepemimpinan dalam Pendidikan
Banyak definisi
mengenai kepemimpinan yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang
masing-masing, tergantung pada perspektif yang digunakan. Kepemimpinan dapat
didefinisikan berdasarkan penerapannya pada bidang militer, olahraga, bisnis,
pendidikan, industri dan bidang-bidang lainnya. Tannenbaum, Weschler dan
Massarik[7] kepemimpinan adalah pengaruh
antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta
diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau
beberapa tujuan tertentu. Slamet Santosa[8]
mendefinisikan kepemimpinan sebagai usaha untuk mempengaruhi anggota kelompok
agar mereka bersedia menyumbangkan kemampuannya lebih banyak dalam mencapai
tujuan kelompok yang telah disepakati. Sehingga dalam konteks pengertian kepemimpinan
di atas, terdapat berberapa hal yang saling terkait, yaitu adanya unsur
penggerak, orang yang digerakan, komunikasi, tujuan organisasi dan manfaat yang
tidak hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Robbins[9]
mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk
memengaruhi sebuah kelompok untuk mencapai suatu visi atau serangkaian tujuan tertentu). Davis dan Newstrom[10] mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah Proses
mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias mencapai tujuan. Sementara itu, Nawawi[11] melihat kepemimpinan sebagai proses
mengarahkan, membimbing, mempengaruhi atau mengawasi pikiran, perasaan atau
tindakan.
Beckhard[12]
mengemukakan ada dua prinsip
kepemimpinan. “Prinsip pertama adalah adanya hubungan antara pemimpin dan
pengikutnya dan prinsip kedua adalah bahwa pemimpin yang efektif menyadari dan
mengelola secara sadar dinamika hubungan antara pemimpin dan pengikutnya.” Lebih jauh Idochi[13]
mengemukakan bahwa:
… kemampuan seorang
pemimpin dalam menggunakan kewenangannya untuk menggerakkan organisasi melalui
keputusan yang dibuatnya. Pengertian yang lebih populer menunjuk pada pola
keharmonisan interaksi antara pemimpin diimplementasikan dalam bentuk
pembimbingan dan pengarahan terhadap bawahan. Pola interaksi biasanya diawali
dengan upaya mempengaruhi bawahan agar mereka mau digerakkan sesuai dengan
tujuan organisasi.
Dalam
konteks sekolah Laws[14]
yang dikutip oleh Turney, menjelaskan kepemimpinan sebagai berikut :
“Leadership,
in the context of a school, help bring meaning and asense of purpose to the
relationship between the leader, the staff, the students, the parents and the
wider school community. Leadership is not only a matter of what a leader does,
but how a leader makes people feel about themselves in the work situation and
about the organisation itself.”
Jika
pengertian kepemimpinan di atas diterapkan dalam lembaga atau organisasi
pendidikan maka kepemimpinan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu usaha
untuk menggerakkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan. Soetopo dan Sumanto[15]
yang mengemukakan bahwa” kepemimpinan pendidikan adalah kemampuan untuk
menggerakkan dan membimbing orang yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan
untuk mencapai tujuan pendidikan.” Sehingga dalam kasus kepemimpinan pendidikan
berbasis lintas budaya, seorang pemimpin dituntut bagaimana agar dapat
menggerakkan masyarakat yang dipimpinnya tanpa ada dominasi budaya tertentu yang
menyebabkan terjadinya konflik dalam pendidikan sehingga tercapai tujuan
pendidikan yang telah dirumuskan bersama.
Peran Kepemimpinan Pendidikan
Berbasis Multikultural Dalam Penyelesaian Konflik Pada Institusi Pendidikan
Adanya
dominasi budaya tertentu terhadap budaya lain di dalam satu komunitas, tak
terkecuali dalam sebuah lembaga pendidikan dapat mengakibatkan ketegangan yang
berujung kepada konflik. Hal demikian sering terjadi akibat adanya penempatan
yang tidak tepat dalam identitas lokal, nasional maupun universal pada saat
berinteraksi maupun bersosialisasi. Sehingga seseorang tanpa adanya kesadaran
yang lapang merasa benar dengan membawa dominasi identitas lokal ke dalam
komunitas yang multikultural. Dalam hal
ini perlu paradigma kepemimpinan yang tepat agar dominasi budaya tertentu dalam
sebuah komunitas yang beragam tidak terjadi. Pada kasus kepemimpinan dalam
pendidikan, paradigma yang harus dibenahi adalah paradigma kepemimpinan yang
bersifat hierarkis-otokratis menuju kepemimpinan yang berbasis kemitraan
bersama dalam naungan kepemimpinan pendidikan dengan paradigma multikultural.
Kepemimpinan hierarkis-otokratis[16] seringkali
diwarnai oleh sikap dan prilaku pemaksaan kehendak dan pragmatis, yang
menyebabkan terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif bawahan. Para bawahan cendrung
bersikap apriori, sehingga dalam melakukan tugas dan kewajiban hanya
berdasarkan perintah atasan. Dengan kondisi demikian akan sulit dicapai kinerja
yang unggul. Maka perlu kebijakan perubahan kepemimpinan pendidikan yang dapat
memberdayakan bawahan yang beranekaragan budaya, etnik, agama dan kemampuan.
Dalam hal ini Dimmock dan Walker[17] mengetengahkan tentang
Cross Cultural Leadership (kepemimpinan lintas budaya) yaitu kepemimpinan yang
berdasarkan pemahaman budaya yang ada sekaligus dampaknya terhadap kelangsungan
masyarakat sosial dalam lingkup budaya tertentu. Model kepemimpinan demikian,
diharapkan dapat mendorong motivasi, memberdayakan dirinya dan memiliki
tanggung jawab atas tugas yang diembannya. Kepatuhan tidak lagi didasarkan pada
kontrol eksternal namun berkembang dari hati sanubari disertai dengan
pertimbangan rasionalnya. Kepemimpinan
multi budaya pada pendidikan intinya merujuk pada upaya memperdayakan setiap
komponen manusia yang multi budaya untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam
pendidikan. Setiap manusia dipandang sebagai individu yang memiliki kekuatan
cipta, rasa dan karsa serta mempunyai tempat untuk berkembang sebagaimana
mestinya, maka hal ini mempunyai kekuatan bagi lembaga pendidikan untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Hersey dan Blanchard[18] mengatakan bahwa gaya
kepemimpinan akan sangat efektif apabila mengakomodir budaya dan lingkungan. Untuk
itu ditawarkan konsep kepemimpinan multi-kultur, yaitu kepemimpinan yang
menggunakan perspektif multukultural. Secara makna multi-kultur berarti membandingkan atau menangani dua atau lebih
budaya yang berbeda terkait dengan berbagai budaya daerah, bangsa dan lainnya.
Di dalam kepemimpinan
multi-kultur ini, lebih ditujukan kepada budaya pemimpin (yang mempengaruhi)
yang berbeda dengan pengikutnya (yang dipengaruhi). Maka kepemimpinan
multi-kultur merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi dan
memotivasi anggota grupnya yang berbeda budaya dengan sengaja dan tidak
seimbang menuju sasaran yang diterapkan dengan mempertimbangkan pengetahuan dan
sistem makna dari budaya yang berbeda didalam grup. Atau dengan kata lain
adalah pemimpin yang mampu menyesuaikan dan menerapkan gaya kepemimpinan yang
sesuai dengan situasi, budaya dan kondisi lingkungan yang beragam.
Budaya secara tidak
langsung berpengaruh terhadap prilaku kepemimpinan. Hal itu dikemukakan oleh Bowditch dan Buono[19] dengan
alasan bahwa sikap dan prilaku seseorang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
dipegangnya, dan nilai – nilai itu dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan
sosial. Seorang pemimpin dalam
menjalankan kepemimpinannya perlu menyadari bahwa setiap individu, walaupun
berada dalam satu unit kerja yang sama namun tetap memiliki nilai-nilai yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, agar proses kepemimpinan
dapat berjalan dengan efektif, maka setiap pemimpin hendaknya menerapkan gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi yang ada sehingga tidak menimbulkan
masalah dan konflik dengan bawahannya dan organisasinya.
Penutup
Keberagaman
yang menjadi suatu anugerah yang berharga bagi suatu negara akan menjadi
malapetaka ketika tidak adanya konsep dan regulasi yang jelas dalam suatu
negara tersebut. Tak terkecuali, bagi Indonesia sebuah negara yang memiliki
keragaman etnik dan budaya yang telah memiliki regulasi yang mendukung
terciptanya sikap dan perilaku yang saling menghormati dan menghargai terhadap
perbedaan, masih sering disibukkan oleh berbagai macam konflik berbasis SARA.
Hal ini terjadi karena lemahnya kualitas manusia yang merealisasikannya,
sehingga implementasi terhadap regulasi dan konsep kurang berjalan maksimal.
Sebagai sebuah solusi, perlu adanya revitalisasi pendidikan, hal itu
dikarenakan pendidikan sebagai salah satu media yang tepat dalam melakukan
transformasi budaya yang mengahargai keberagaman. Langkah konkrit terhadap
revitalisasi itu dapat diwujudkan dengan memulainya dari faktor kepemimpinan
dalam pendidikan, merubah kepemimpinan hierarkis-otokratis menjadi kemimpinan
pendidikan yang multikultural, sebuah model kepemimpinan yang mampu mengayomi
masyarakat lintas budaya yang dipimpinnya.
[1]Subir
Chowdhury, Organisasi Abad 2
(Jakarta: PT. Indeks kelompok Gramedia, 2005), 327.
[4]H. A. Tilaar, Pendidikan
Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia (Bandung: Remaja Rosyada Karya,
2000), 41.
[6]Handoko, T. Hani, Manajemen (Yogyakarta: BPFE, 2001), 322-323.
[7]Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi,
terj. Jusuf Udaya (Jakarta: Prenhallindo, 1994), 2.
[8]Slamet Santosa, Dinamika Kelompok (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004), 44.
[9]Stephen
P. Robbins & Timothy A. Judge, Organizational
Behaviour. terj. Diana Angelica. Perilaku Organisasi (Jakarta:
Salemba Empat, 2004 ), 48.
[10]Keith
Davis & John W. Newstrom, Human Behavior at Work:
Organizational Behavior, terj. Agus Darma. Perilaku
Dalam Organisasi (Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama, TT), h.151.
[11]Hadari
Nawawi, Administrasi Pendidikan (Jakarta:
Gunung Agung, 1991), 33.
[12]Richard
Beckhard, The Leader Of the Future. terj. Achmad Kemal. Organisasi
Masa Depan (Jakarta: Gramedia, 2000), 125-126.
[13]Moh. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan
Manajemen Biaya Pendidikan: Teori, Konsep, dan Isu (Bandung: Alfabeta, 2003), 26.
[14]Turney C., dkk, The
School Manager (Sidney: Allen
and Unwin, 2006), 48.
[15]Hendyat Soetopo & Wasty
Soemanto, Kepemimpinan Dan Supervisi
Pendidikan (Malang: FKIP-IKIP, 1984), 4.
[16]Menurut Nanus dalam Hessel mengemukan bahwa kepemimpinan
otokratis-hierarkis menyebabkan aggota organisasi kehilangan percaya
diri dan motivasi karena kepemimpinan otokratis-hierarkis beranggapan bahwa
kewenangannya bersumber pada posisinya dan bawahannya malas serta tidak dapat
dipercaya. Lihat Hessel Nogi S. Tangkilisan, Manajemen Publik (Jakarta:
Grasindo, 2005), 122.
[17]George L. Goethals, Encyclopedia of Leandership:
volume 1, (London: Sage publication, 2005), 21.
[18]Y. Hong & L.M Mallorie, A Dynamic Constructivist
Approch to Cultur: Lessons Learned Form Personality Psichology, Jurnal
of Research in personality, 38, 2004, 60.
[19]R. Alas, Ethics in Countries whit Diffrent Culture
Dimensions, Jurnal of Business Ethies, Vol. 69, 2006, 237.
3 komentar:
Cobalah secara arif dan comprehensif mengimplementasikan model kepemimpinan Ki Hadjar D. yaitu Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani dengan semangat saling menghargai. Krn pd hakekatnya semua makhluk adalah ciptaanNya.Ini jk qt mengaku sbg umat beragama dan justru bukannya mengjustifikasi bahwa rog lain yg tdk seiman dianggap kafir, bahkan jk tdk semazab dianggap sesat. Smua itu domain Tuhan, Allah S.W.T n bukan domain manusia.
Sangat setuju dg pak Purwanto Hudi, terkait dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, sekolah untuk para manusia bukan para robot.....pendidikan yang menjadi cita-cita Ki Hajar Dewantara adalah membentuk anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin. Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara ini sesuai dengan konsep pendidikan humanistik. terkait dg tulisan saya adl kepemimpinan dalam pendidikan berbasis lintas budaya yg mengayomi berbagai macam karakteristik tim kerja yg dipimpin.....dan saya coba menawarkan konsep kepemimpinan multikultur yaitu pemimpin yang mampu menyesuaikan dan menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi, budaya dan kondisi lingkungan yang beragam.
pahami kata kafir, kafir bukan sebutan yang diperuntukkan menyakitkan hati non muslim, kafir sebutan utk org yg tidak mempercaya tuhan itu satu(esa), jadi buat non muslim jgn terlalu sensitif jika di katakan kafir, dan ingat di islam ad yg nama ny lebih parah lagi dari kata kafir, yaitu munafik
Post a Comment