Dalam institusinya di Indonesia, secara implisit paradigma plural-multikultural juga menjadi salah satu fokus dari undang-undang sistem pendidikan nasional No. 20 Tahun 2003 yang dijabarkan dalam Pasal 4, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.Dalam keterangan institusi di atas jelas sekali bahwa salah satu prinsip dasar yang dikembangkan dalam pendidikan di Indonesia adalah pendidikan berbasis multikultural.
Spektrum komunitas budaya yang berbeda-beda akan menjadi tantangan bagi proses pendidikan untuk dikelola menjadi aset berharga dengan pembentukan kehidupan bangsa yang memiliki keberagaman yang lapang dan santun terhadap gagasan yang beragam. Sebagai salah satu unsur pendidikan yang memiliki kekuatan budaya dengan nilai luhur berupa nilai demokrasi dan keadilan,seharusnya pendidikan agama berperan aktifdalam pembinaan pendidikan multikultural di Indonesia, khususnya subjek yang berkaitan dengan pengembangan nilai dan karakteristik peserta didik.
Realitanya, penyelenggaraan pendidikan yang ada, khususnya pendidikan agama belum memberikan solusi konkret terhadap pembentukan sikap keberagaman yang lapang dan santun dalam menyikapi perbedaan yang terjadi di masyarakat.Beberapa peristiwa-peristiwa yang dilatarbelakangi oleh perbedaanras, budaya dan agama serta antar golongan yang merupakan keputusan yang Tuhan tetapkan bagi negara ini dapat dijadikan indikasi kegagalan pendidikan agama dalam menanamkan nilai-nilai ajaran Islam yang damai. Masyarakat belum mampu bersikap toleran terhadap adanya perbedaan kultural yang dihadapi dalam proses interaksi sosial diantara beragam komunitas. Perbedaan yang hakekatnya menjadi nilai positif bagi bangsa Indonesia telah terkotori oleh emosi masyarakat yang mudah terbakar dan perilaku–perilaku destruktif yang membabi buta dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, nampaknya peran pendidikan agama (Islam) belum begitu terealisasikan secara maksimal. Tatap muka yang intensif antara guru agama dengan peserta didik yang sedianya dianggap sarana efektif bagi berhasilnya upaya bimbingan ke arah perilaku toleran, tidak banyak dimanfaatkan. Hal ini tentunya merupakan akibat mekanisme dari proses pembelajaran yang mengharuskan guru menyampaikan materi pelajaran agama berdasarkan buku paket tertentu yang memang sangat minim membahas tentang toleransi atas perbedaan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).
Sebuah penelitian yang dilakukan berita harian Kompas, dengan menganalisis buku-buku wajib pelajaran agama, melaporkan bahwa porsi bahasan tentang toleransi beragama di dalam buku-buku wajib tersebut tidaklah begitu banyak. Sebagai contoh, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) hanya ditemukan pada buku kelas III SLTP yang disusun oleh Direktorat Pembinaan PAI pada sekolah umum negeri. Sebaliknya, buku-buku wajib tersebut lebih didominasi ajaran-ajaran fundamental tentang prinsip-prinsip kepercayaan dan pengetahuan praktis mengenai macam-macam serta tata laksana ritual agama yang ditujukan untuk memperteguh keyakinan peserta didik terhadap agama yang dianut. Disini mengindikasikan bahwa pendidikan agama (Islam) yang diajarkan disekolah lebih mengarah kepada pembentukan pribadi–pribadi yang cendrung ekslusif dan tidak memiliki kepekaan sosial atas adanya perbedaan serta terisolir dengan kehidupan sosial-budaya Indonesia yang beragam. Dalam hal ini nampak jelas bahwa pendidikan agama (Islam) di Indonesia lebih banyak menekankan kepada disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish dan jauh dari realitas kehidupan yang heterogen.
Seyogyanya berdasarkan pertimbangan akan terciptanya kedamaian dan keberagaman yang lapang dalam berinteraksi sosial, maka menjadi suatu kepentingan mendesak untuk menajamkan para ‘pelaksana kurikulum’ terhadap tema multikulturalisme dalam kerangka tujuan pendidikan agama baik dalam aspek materi maupun penerapan strategi penyampaiannya. Dengan demikian dapat terselenggaranya pelaksanaan pendidikan agama yang responsif terhadap keberagaman yang terjadi dalam masyarakat. Danpembinaan pendidikan agama secara inklusif denganmembina pribadi yang menghargai perbedaan dalam semangat kebersamaan, yakni mengakui secara mutlak kebenaran agama masing- masing individu tanpa harus melemahkan sistem keyakinan agama lain.
Penyajian Ajaran Islam Yang Damai dan Menghargai Perbedaan
Dalam hal ini berkaitan dengan tuntutan kompetensi mata pelajaran yang harus dibekali kepada peserta didik berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan etika atau karakter (ethic atau disposition), maka perlu dipertegas mengenai tujuan pendidikan agama Islam secara komperehensif. Pertama, tujuan pendidikan agama Islam dalam tatanan konseptual adalah menjadikan manusia hamba Allah yang bertakwa, pemimpin bijaksana di dunia dan hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Kedua, dalam tatanan empiris realistis, tujuan pendidikan agama Islam adalah membentuk manusia yang mampu merealisasikan diri dengan bertanggungjawab atas segala perbuatannya dan mengaktualisasikan diri dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, dengan melakukan perwujudannya ke dalam tiga bentuk realitas, yaitu realitas subjektif yang memiliki indikasi keteguhan iman, takwa dan tawakal, realitas simbolik dengan mengetahui tingkat peradaban manusia yang bercorak Islami dan realitas objektif dengan mampu mengatasi krisis hidup yang dialaminya sehari–hari berdasarkan doktrin Islam. Sehingga dalam diri peserta didik tertanam motivasi yang kuat untuk menghubungkan seperangkat nilai dan norma yang mereka pelajari pada ajaran Islam dengan kenyataan sosial yang terdapat dalam lingkungan masyarakatnya.
Islam itu adalah suatu agama yang berisi ajaran tentang tata hidup yang diturunkan Tuhan kepada umat manusia melalui para rasul-Nya, sejak dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad ini berisi pedoman pokok yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dengan manusia sesamanya, dengan makhluk bernyawa yang lainnya, dengan benda mati dan alam semesta ini. Ajaran ini diturunkan Tuhan untuk kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat nanti, maka pendidikan agama Islam sebenarnya adalah pendidikan tentang tata hidup yang berisi pedoman pokok yang akan dipergunakan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini dan untuk menyiapkan kehidupan yang sejahtera di akhirat nanti.
Terkondisikan dengan ajaran yang mencakup pedoman hidup yang komprehensif, pemberlakuan ‘dialektika-transformatif’ dalam pendidikan agama diharapkan dapat mengembangkan budaya sosial peserta didik yang menghargai dan menghormati keragaman.Pendidikan agama dituntut untuk melakukan transformasi nilai melalui potensi moral manusia guna mencetak masyarakat madani (civil society), baik dengan cara melakukan transformasi nilai secara sempit melalui penanaman nilai yang bersifat normatif-dogmatis yang menyejukkanmaupun melalui transformasi nilai secara luas melalui pengayaan intelektual dan kultural yang komperehensif.
Konsep pengembangan multikulturalisme dalam pendidikan agama Islam yang bersifat dialektika–transformatif, dapat menjadi opsi pembinaan strategis dalam menyajikan keragaman yang damai bagi bangsa Indonesia. Transformasi budaya itu akan terwujud melalui peranan pendidikan agama berbasis multikultural sebagai pusat pembudayaan atau sosialisasi berbagai kemampuan, nilai dan sikap lapang terhadap keberagaman yang bersumber dari ajaran agama (Islam).Hal ini penting diterapkan guna merespon perkembangan kehidupan sosial budaya yang selalu mengalami perubahan secara berkesinambungan dengan adanya pemalsuan persepsi terhadap budaya dan peradaban manusia. Selain itu juga, langkah tersebut dilakukan sebagai bentuk strategi untuk membina mental peserta didik agar memiliki sikap yang sehat dalam merespon keberagaman budaya, ras dan keagamaan serta tingkah laku di dalam lingkungan sosial masyarakat. Sehingga adanya gejolak sosial yang berkepanjangan dan sistemik yang menjadi ancaman terhadap keragaman di Indonesia dapat terhindari melalui peran aktif penyelenggaraan pendidikan agama (Islam) yang tepat.
Strategi Guru dalam Membentuk Kesepakatan Luhur Menyikapi perbedaan
Kegiatan proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik secara edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Guru sebagai jabatan profesional memegang peranan utama dalam proses pendidikan secara keseluruhan.
Berkenaan dengan penanaman nilai-nilai ajaran Islam berbasis multikultural, kompetensi guru dalam menerapkan pendekatan multikultural harus menjadi fokus utama dalam kegiatan belajar mengajar. Guru sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan meningkatkan kesempatan belajar siswanya dan memperhatikan referensi latar budaya siswanya. Guru harus menjadi teladan dengan menampilkan perilaku dan sikap yang mencerminkan prinsip-prinsip multikultural. Seorang guru sebagai pelaksana kurikulum dituntut agar menyajikan ajaran Islam yang menghadirkan keberagaman yang damai dan lapang. Doktrin ajaran agama (Islam) tersajikan dengan materi-materi yang inklusif dan menghargai perbedaan baik dalam intra ajaran agama maupun ekstra ajaran agama tanpa harus mengurangi keyakinan ajaran yang dianutnya. Seorang guru harus mampu memberikan pesan yang tegas bahwa Islam merupakan agama yang memberikan rahmat bagi semesta alam. Sehingga sudah selayaknya ketika peserta didik belajar pendidikan agama (Islam) dengan tepat, maka perilakunya mencerminkan rahmatan lil alamin dengan menghargai keberagaman dan bersikap lapang terhadap perbedaan.
Pilihan strategi guru dalam mengembangkan pembelajaraan diharapkan dapat membantu terwujudnya pendidikan agama Islam berbasis multikultural. Dalam tataran belajar dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi pembelajaran kooperatif dianggap tepat untuk digunakan. Strategi ini diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai keberagaman yang damai dan lapang serta membangun paradigma persatuan dalam keberagaman.
Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa aspek yang harus menjadi acuan pembelajaran agama berbasis multikultural, pertama adalah pencapaian konsep yang dijadikan target pembelajaran. Pada aspek ini, siswa dituntut memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati keragaman, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama, etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent).
Selain itu, penggunaan strategi pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas proses belajar siswa, suasana belajar yang kondusif, membangun interaksi aktif antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa dalam pembelajaran. Kedua, melakukan analisis nilai dalam kegiatan pembelajaran, kegiatan ini difokuskan untuk melatih kemampuan siswa berpikir secara induktif, dari setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (cara pandang kebangsaan).Ketiga, melakukan anĂ¡lisis sosial dengan penempatan yang rasional terhadap isu-isu lokal, nasional dan global. Siswa mampu menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai secara emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri bangsa, agama dan negaranya.
Akhirnya, kurikulum dan strategi pembelajaran pendidikan agama Islam berbasis multikultural yang terkonsep, akan termaknai secara hakiki ketika guru sebagai penentu dalam pelaksanaan kurikulum memiliki kemauan untuk selalu belajar. Karena keteladanan akan terkondisikan dalam diri seorang guru ketika dirinya memiliki pemahaman yang komperehensif berdasarkan rasa ingin tahu yang meluas sehingga kemampuan untuk menentukan penempatan secara rasional dan bijaksana terhadap Islam sebagai agama pemberi rahmat bagi semesta alam dapat diberlakukan. Bagi seorang guru agama Islam, untuk menyampaikan dogma ajaran Islam yang bersifat prinsipil merupakan suatu penegasan terhadap identitas agama secara kultural semata. Sementara itu,untuk menghadirkan keberagaman yang damai baik internal agama maupun eksternal agama seorang guru agama Islam membutuhkan sikap yang lapang terhadap keberagaman dengan menyajikan nilai-nilai inklusif dalam agama tanpa harus mengurangi keyakinan yang dianut sebagai sebuah identitas diri.
0 komentar:
Post a Comment