Menyegarkan Kembali Islam Indonesia

Posted by Kongkow edu On Monday, December 02, 2013 0 komentar
Melihat judul di atas terbersit dalam benak penulis beberapa pertanyaan, apakah terjadi perubahan yang signifikan dalam pemberlakuan keislaman para penganutnya di Indonesia? Sehingga ciri khas Islam di Indonesia mulai meluntur dan kehilangan identitas. Ataukah umat Islam di Indonesia mengalami permasalahan serius sehingga perlu adanya penemuan kembali identitas keislaman masyarakat Indonesia?.

Terus terang, ketika menentukan judul di atas penulis memahaminya dengan maksud “menemukan kembali Islam Indonesia”. Namun bukan bermaksud menyatakan bahwa Islam Indonesia telah hilang melainkan melakukan penyegaran dalam rangka mempertegas bentuk, warna, sifat yang menjadi “nafas kehidupan” bagi Islam Indonesia itu sendiri. Dengan demikian, penulis mencoba mencari titik singgungnya dari kekusutan problematik umat Islam Indonesia dewasa ini. Nampaknya kata pribumisasi Islam dianggap tepat untuk menjadi solusi kajiannya. Pribumisasi Islam yang dimaksud sebagai gerakan membumikan Islam dalam konteks ke-indonesiaan sebagai bentuk perlawanan terhadap arabisasi dan radikalisme. 

Islam Agama Pemberi Rahmat Bagi Alam Semesta 
Kebenaran itu bersifat universal sehingga dapat diterima oleh semua orang dari beragam latar belakang karena 'pembawa beritanya' sadar bahwa kebenaran yang mutlak itu dapat ditinjau berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda. Ketika terdapat unsur pemaksaan dalam penyampaian 'kebenaran' hal itu berarti yang disampaikan bukan sebuah kebenaran melainkan pembenaran berdasarkan sudut pandang tertentu. Dengan demikian semakin mendekati seseorang memahami kebenaran dari berbagai sudut pandang maka semakin luas pula jiwanya menghargai keberagaman pemahaman.

Keresahan nampak terasa sekali ketika masih banyak masyarakat disibukan dengan memperindah terhadap pegangannya (baca: Pemahaman agama) masing-masing, kenapa harus seperti itu? Karena sibuk dengan pegangannya sendiri, kita sering melupakan bahwa para pemilik 'pegangan lain' memiliki hak untuk memperoleh lisensi perlindungan dan keselamatan ketika hendak melakukan komunikasi baik secara vertikal maupun horizontal. Saya yakin akan lebih bermanfaat ketika seluruh pegangan mensejajarkan diri membentuk seperti jembatan agar tiap-tiap individu sesama pemilik pegangan berjalan dengan penuh rasa aman. Sehingga nampak jelas bahwa Islam rahmatan Lil Alamin.

Setidaknya kita dapat menyebutkan beberapa argumen dan dasar pemikiran, mengapa kita harus memegang teguh prinsip toleransi, pertama, kepercayaan dan keyakinan umat Islam akan kemuliaan dan kehormatan pribadi setiap manusia, apapun agama, ras dan warna kulitnya. Allah telah berfirman: Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam (QS. 17:7). Kemuliaan seperti yang ditegaskan tersebut mengharuskan adanya penghormatan dan perhatian kita, terhadap hak-hak dan pribadi setiap manusia.

Kedua, keyakinan dan kepercayaan kita, bahwa adanya perbedaan pendapat manusia mengenai agama merupakan kehendak Allah SWT yang memberi jenis makhluk ini kebebasan dan ikhtiar dalam perbuatan yang dilakukannya atau pun yang ditinggalkannya. Firman Allah: Barang siapa ingin beriman, biarlah Ia beriman dan barang siapa ingin kafir, biarlah ia kafir. (QS. 18:29) dan Firman Allah di ayat lain: Jikalau Tuhanmu menghendaki tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS. 17:118). (KH. Irfan Hielmy, Wacana Islam; Telaah Anak Bangsa, Ciamis: PIP, 2000), hal. 108-109.

Terkait dengan keragaman yang bersifat natural dan kodrati dalam bangsa Indonesia ini, menuntut pula pembentukan Kekhasan Islam di Indonesia itu sendiri yang nampak terlihat dari aspek budaya. Islam di Indonesia lebih fleksibel, dan penganutnya mudah menyesuaikan diri dan tidak perlu penampilan yang sangat religius sebagai salah satu kewajiban beragama.

Umat Islam di Indonesia telah meneladani Nabi Muhammad SAW dengan benar karena Nabi merupakan contoh yang tepat untuk diteladani, karena Nabi merupakan pribadi yang menghargai tradisi dan berperangai menyenangkan. Nabi Muhammad SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot karena memang tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal (salah satu tokoh pada zaman Nabi Muhammad SAW, tokoh ini mati karena kesombongan diri) juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Perkara yang membedakannya adalah Nabi Muhammad SAW wajahnya selalu dihiasi dengan senyuman karena menghargai tradisi setempat. Sedangkan Abu Jahal wajahnya selalu dihiasi dengan kemarahan karena kesombongan dirinya atas kesukuannya.

Hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa Islam sebagai sebuah identitas tidak cukup hanya dipahami dari simbolisasi agama saja, karena identitas Islam ada pada pengabdian penganutnya kepada Allah SWT baik dalam bentuk ritual yaitu sholat maupun dalam bentuk sosial yaitu amal shaleh. Islam secara konseptual telah dinyatakan sempurna sebagai sebuah agama yang memberikan seluruh informasi kepada penganutnya mengenai pedoman kehidupan. Pedoman-pedoman tersebut terangkum dalam Al-qur’an dan sunnah Nabi. Terkait dengan hal tersebut, maka bahasa-bahasa yang terangkum dalam firman Allah SWT dan as- Sunnah Nabi Agung Muhammad SAW membutuhkan media agar dapat diberlakukan dalam bentuk aplikasi di kehidupan sehari-hari. Media itu dapat dimaknai berupa kapasitas diri. (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. V, 329.

Terkadang kapasitas diri ini tanpa disadari merupakan aktor utama yang menjadi penyebab adanya keberagaman dalam pemberlakuan Islam, khususnya dalam tataran ritualitas ibadah maupun amaliyah muamalah. Hal tersebut terkondisikan karena adanya latarbelakang yang bersifat kultural yang menetap dalam kapasitas pribadi-pribadi dalam memaknai dan memberlakukan Islam sebagai agama yang memberikan rahmat bagi alam semesta.

Banyak pemaknaan Islam oleh penganutnya yang menyebabkan adanya perbedaan dalam pemberlakuannya. Pertama, Islam dapat dimaknai sebagai keyakinan pribadi yang menuntut penganutnya agar selalu fokus dalam aktualisasi ajaran Islam di kehidupan, kedua, terdapat pula pemaknaan Islam sebagai lembaga keagamaan yang harus besar secara kuantitas atau jumlah sehingga penganutnya fokus terhadap penyempurnaan hubungan secara vertikal (Hamblun minna Allah) tanpa memperdulikan hubungan secara horizontal (Hablun minna an-Nas). Dan ketiga tidak sedikit pula Islam dipahami sebagai kultural kemasyarakatan yang menjadikan para penganutnya mengamalkan Islam dalam bentuk praktek kebudayaan yang bernuansa religi.

Adanya agama bagi manusia dapat difungsikan agar agama dapat ‘membimbing’ manusia hidup dengan tepat dan benar. Agama melalui dalil-dalilnya yang bersifat naqli maupun aqli berusaha menjelaskan kepada manusia apa yang seharusnya diberlakukan ataupun sesuatu yang seharusnya tidak diberlakukan. Jika berkehendak, niscaya Allah SWT menjadikan manusia satu umat. Namun Allah SWT tidak menghendaki kehidupan “satu warna”. Akhirnya, Allah maha Yang Esa, Bapak yang satu (Adam), Ibu yang satu (Hawa) dan agama yang satu (Hanif) telah menjadikan banyak warna dengan semua perbedaan yang ada.

Keberagaman itu menjadi sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Sebagaimana Allah SWT menginformasikan dalam al-Qur’an yang artinya Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. (QS Al-Hujarat: 13). Keragaman adalah suatu kenyataan hidup yang harus diterima. Hal tersebut telah menjadi sebuah keniscayaan, sebagaimana dinyatakan pada ayat diatas bahwa manusia itu bukan semata-mata laki-laki tapi juga perempuan, manusia juga hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Sungguh terlalu besar dunia ini, jika hanya dihuni oleh kita seorang diri.

Allah SWT memberikan banyak kesempatan untuk makhluknya memahami agama yang diyakininya. Terkadang manusia sempat juga bersinggah dalam kesesatan untuk sesaat dalam memahami kebenaran melalui proses yang berlika – liku. Allah SWT juga tidak mengizinkan makhluknya menghakimi orang lain dalam kesesatan.

Kita mengakui kebenaran Allah SWT itu mutlak, namun kita juga perlu menyadari bahwa pemahaman kebenaran mutlak Allah SWT yang kita pahami itu bersifat relatif. Sehingga selayaknyalah manusia memberikan jalan yang lapang kepada orang lain dalam melakukan ekspresi yang beragam ketika mengembangkan pemahaman terhadap kebenaran.

Lalu apa yang melandasi diri kita harus mengkerangkeng eksperesi orang lain dalam memahami agama yang diyakininya, apalagi diiringi pula dengan tindakan – tindakan intimidasi fisik guna mencegahnya. Sungguh naif individu – individu esklusif yang merasa kebenaran mutlak milik pribadi. Seolah menampakan manusia telah mengambil alih fungsi Allah SWT sebagai pemberi keputusan paripurna. Sebagian manusia merasa bahwa Allah SWT yang 'dipahami' dengan suatu yang sakral yang dianut dalam sebuah agama, menjadi sumber penyebab terciptanya kekacauan. Hal ini menjadikan manusia bersikap acuh terhadap Allah SWT. Padahal ini adalah dampak dari manusia esklusif yang kolot dan intoleran. 

 Alkulturasi Islam Dalam Tradisi Keindonesiaan
“Kita ini orang Indonesia yang beragama Islam atau orang Islam yang kebetulan menetap di Indonesia?” pernyataan yang pernah diungkapkan oleh Gusmus (baca: KH. Mustofa Bisri) ini sangat relevan dijadikan sebagai bahan evaluasi diri untuk memahami Islam secara komperehensif dalam pemberlakuannya.

Dalam konteks Indonesia sebagai bangsa yang pluralis, yang dihuni oleh beragam ras, etnik, budaya dan agama. Keragaman ini akan menjadi suatu manisfestasi yang berharga ketika diarahkan dengan tepat menuju situasi dan keadaan yang kondusif. Namun, sebaliknya, ketika tidak diarahkan dengan pola yang tepat, keragaman ini akan menimbulkan perbenturan peradaban (clash of civilization) yang sering menghasilkan situasi konflik berdarah, yang menciptakan perpecahan dan disentegrasi sosial. (Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural; Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, Jakarta: Kompas, 2003, p. 72).


Keberadaan pendidikan agama memiliki peranan penting terhadap peningkatan kapasitas diri manusia dalam hal ini memahami agama dengan wawasan dan sikap multikultural. Penyelenggaraan pendidikan agama dalam kondisi masyarakat plural dapat tersajikan melalui penanaman nilai-nilai dogmatis yang bersifat dialogis ataupun dengan penjelasan intelektual dan budaya yang berbasis pengetahuan komperehensif. Sehingga ‘pertempuran agung’ atas nama pembelaan terhadap dasar-dasar agamanya tidak akan pernah lagi dilakukan oleh umat beragama karena telah terpahami dengan terbentuknya titik singgung antara penganut agama, yang saling menghargai dan menghormati sistem yang terproduk dari agama atau keyakinannya masing-masing yang berbeda tanpa sedikitpun mengurangi keyakinan luhur yang terdapat dalam dirinya.

Dalam pandangan Everington , pendidikan agama dapat dijadikan sebagai media untuk mempromosikan sikap positif dalam hidup di masyarakat plural dan mempromosikan pemahaman agar menghormati terhadap orang yang memiliki budaya dan keyakinan berbeda. Hal ini dilakukan guna memperluas pemahaman terhadap paham keagamaan dan kultural yang beragam. Dalam pengembangannya, pendidikan agama harus memanfaatkan aset agama (religious assets) seperti aset spiritual, moral dan sosial untuk menciptakan kehidupan beragama yang inklusif dan memiliki keberagaman yang lapang.

Ketiga aset tersebut harus dapat digunakan untuk mempromosikan pesan kedamaian dalam kehidupan keagamaan yang beragam dengan cara re-interpretasi nilai-nilai spiritual dalam bentuk moralitas yang beraktualisasi dan terwadahi dalam struktur sosial keagamaan yang menjadi sarana signifikan untuk melakukan komunikasi dan bertindak di dalam masyarakat plural. Terkait hal itu, di Indonesia pendidikan agama (Islam) menjadi komponen terpenting dalam mendukung terciptanya kesatuan dalam keberagaman (unity in diversity).

Tilaar menyatakan bahwa keberadaan pendidikan agama (Islam) dalam konsep pendidikan di Indonesia berfungsi untuk memperkuat nilai-nilai budaya yang agung seperti demokrasi dan kesadaran sosial, yang merupakan aspek-aspek pendukung dalam pengembangan pendidikan keberagaman. Dan dipertegas oleh Fadjar, bahwa pendidikan agama (Islam) diperlukan dalam perwujudan pendidikan berbasis multikultural dengan melakukan transformasi nilai melalui potensi moral guna menciptakan masyarakat modern yang beradab. Bahkan dinyatakan oleh Zuhdi bahwa pendidikan agama (Islam) telah diyakini merupakan cara terbaik untuk penanaman nilai-nilai moral bagi manusia. Dan itu semua mutlak harus diberlakukan sebagai bentuk perwujudan terhadap nilai-nilai agama (Islam) secara totalitas dengan mengembangkan pemberlakuan nilai-nilai agama (Islam) berbasis moralitas yang beraktualisasi dan sikap lapang serta santun terhadap perbedaan.

0 komentar:

Post a Comment